20 Apr 2012 – Penahanan Tony Wong Dinilai Langgar HAM
Oleh: Berita Khatulistiwa
Jumat, 20 April 2012, 01:40 WIB
INILAH.COM, Pontianak – Komisi III DPR-RI menilai penahanan terhadap Tony Wong terdapat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pasalnya tetap mendekap dalam tahanan, padahal seyogyanya sudah selesai menjalani masa pidana. Karena Kejaksaan Negeri Ketapang menyebut dirinya masih ada kasus yang belum selesai.
“Dari laporan-laporan yang kita dapat, ini jelas pelanggaran HAM. Memang ada penyimpangan dari penegak hukum, tapi kita belum klarifikasi. Karena itu kita di banleg mengutamakan adanya perubahan. Supaya kejaksaan jangan melanggar UU,” kata Anggota Komisi III DPR-RI Nudirman Munir disela kunjungan kerja, Kamis (19/4) ke Lembaga Pemasyarakat Klas II A Pontianak.
Ia menyatakan penjelasan kejaksaan sangat diperlukan dalam permasalahan Tony Wong. Supaya secara jelas diketahui duduk permasalahannya. Karena pihaknya memerlukan informasi berimbang. Sementara ini informasi baru diperoleh dari pihak Tony Wong.
Menurut dia, Kejaksaan Agung akan dimintai klarifikasi kasus penahanan Tony Wong. Terkait masalah Tony Wong belum bisa mendapatkan pembebasan bersyarat. Karena Kejaksaan Negeri Ketapang tidak mengeluarkan surat keterangan tidak ada perkara lain sebagai syarat. Kejari menganggap Tony Wong masih tersangkut kasus tahun 2004.
“Untuk kejelasannya semua akan dimintai klarifikasi. Kalau memang ada kesalahan di Kejari Ketapang, maka harus ditindak. Termasuk penjelasan sampai kasusnya tidak teregister di Mahkamah Agung (MA). Kalau terbukti bersalah semua bisa dipidana,” jelas Politisi Partai Golkar, ini.
Karena itu, lanjut Nudirman, badan legislasi Komisi III dapat segera ketok palu pada 2012 tentang perubahan kejaksaan. Dimana, dalam perubahan itu diatur sanksi kepada Jaksa yang melanggar pidana dapat dikenai pidana maksimal 15 tahun penjara. “Nanti kita akan minta klarifikasi. Mudah-mudahan pelanggaran HAM seperti ini tidak terjadi lagi,” harapnya.
Sementara Tony Wong menilai sistem hukum yang berjalan sudah tidak sesuai prosedur. Membuat dirinya harus menjalani hukum untuk perkara tindak pidana korupsi maupun ilegal logging. Meski sudah habis masa hukuman, tetap berada di tahanan. Karena dianggap mempunyai perkara di tahun 2004 yang belum selesai.
“Saya hanya ingin keadilan. Kalau hukum seperti ini bukan memberikan rasa keadilan. Ini seperti balas dendam kepada saya,” kesalnya.
Oleh karena itu, Tony Wong menyampaikan sikap protes terhadap kejaksaan yang membuatnya harus kehilangan hak mendapatkan pembebasan bersyarat. Padahal dirinya telah membuat laporan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham RI. Mengadukan kasusnya pada tahun 2007 dan 2009 sudah diputuskan sekaligus telah menjalani hukuman. Sementara kasus yang tahun 2004 belum selesai, dia sudah menjalani hukuman untuk putusan tahun 2007 dan 2009.
“Saya minta dukungan DPR, putusan saya tidak ada di MA. Kejaksaan arogan,” kata dia.
Diketahui, Tony Wong dipidana dalam perkara ilegal loging dan korupsi Provisi Sumber Dana Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi. Kedua perkara tersebut digunakan kepolisian dan kejaksaan Ketapang untuk menangkap Tony Wong yang telah membongkar praktek ilegal loging di Ketapang. Padahal diduga praktek ilegal loging tersebut mengakibatkan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah.
Akibat “nyanyian” Tony Wong, puluhan cukong kayu ilegal yang sebelumnya tidak pernah tersentuh hukum akhirnya ditangkap. Bahkan belasan aparat hukum dipecat dan sebagian lagi dimutasi dari jabatannya. “Praktek ilegal loging itu saya bongkar karena saya mencintai negeri ini. Tapi, hukum negeri ini malah menghadiahi saya penjara selama 9 tahun. Hukum yang dibuat-buat oleh aparat yang dendam dengan saya,” tuding Tony Wong. [gus]
Dari Rutan ke Tahanan Kota
Ditulis oleh Andry Jumat, 4 September 2009
Tiga mantan unsur pimpinan DPRD Ketapang periode 1999-2004 yang kini mendekam di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) IIb Ketapang sejak 31 Agustus 2009 seolah tak perlu berlama-lama menghirup pekatnya udara penjara.
Pasalnya, Pengadilan Tinggi Pontianak mengabulkan permohonan kuasa hukum ketiganya. Sehingga, status penahanan mereka berubah dari tahanan rutan menjadi tahanan kota.
“Pengadilan Tinggi Pontianak memerintahkan, menetapkan, mengabulkan permohonan pemohon Indra Pahlawan dan Erni Sutrisni selaku penasehat hukum Sugiarto Husin dan H Hamdi H. A Rani. Mengalihkan penahanan atas diri terdakwa dari tahanan rutan menjadi tahanan kota. Memerintahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari rumah tahanan Negara,” ungkap Kepala Seksi (Kasi) Pidana Umum (Pidum) Abdul Farid di ruang kerjanya, Kamis (3/9).
Pengadilan Tinggi Pontianak dengan surat penetapan nomor: 07/Penpid/2009/Pengadilan Tinggi Pontianak, dikeluarkan tanggal 2 September 2009 ditandatangani Ketua Pengadilan Tinggi Pontianak, Ida Bagus Ngurah Sonya.
Kabar gembira itu juga dirasakan terdakwa Razali Achmad. Status penahanan dirinya juga telah berubah. Dari tahanan rutan menjadi tahanan kota. “Ini baru kami terima sekitar pukul 10.45 Wib. Ketiga tersangka akan segera kami keluarkan dari rumah tahanan. Ya, sekitar pukul tiga sorelah, seusai kami melakukan persidangan,” katanya.
Setelah dikeluarkan dari rutan, Farid mengatakan, ketiga terdakwa akan diserahkan kepada keluarga mereka. “Karena berstatus tahanan kota, maka ketiga terdakwa tidak diperkenankan keluar dari Kota Ketapang. Kami akan pantau terus. Kalau melanggar, kita akan sampaikan hal tersebut kepada pengadilan, sehingga terdakwa ditahan ke dalam rutan kembali, karena tidak mengindahkan penetapan dari pengadilan,” katanya.
Untuk diketahui bahwa ketiga tersangka tersangkut dugaan korupsi APBD 2004 Pemkab Ketapang sebesar Rp3,1 miliar. Dari PN Ketapang, ketiga terdakwa divonis selama satu tahun penjara, denda Rp50 juta, subsider satu bulan kurungan. “Namun mereka mengajukan banding,” jelasnya. Selama proses banding, ketiga terdakwa tidak mengalami proses penahanan. Hal tersebut dikarenakan tidak ada perintah dari pengadilan untuk dilakukan proses penahanan terhadap ketiganya. Sebelumnya, Kejari Ketapang telah melakukan eksekusi terhadap terdakwa kasus korupsi dan menyeret tiganya ke Lapas IIb Ketapang, Senin (31/8) lalu.
Tony Wong Dipindah ke Lapas Pontianak
Ditulis oleh Andry dan Suhartiman Jumat, 7 Agustus 2009
Tony Wong yang selama ini ditahan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas IIb Ketapang, kini dipindahkan secara tiba-tiba ke Lapas Kelas IIa Pontianak, Kamis (6/8) pagi.
Tony Wong yang divonis empat tahun penjara oleh Mahkamah Agung tahun ini, sudah menjalani masa hukuman dua tahun lebih di Lapas Ketapang.
Ditanyakan kepada Kalapas Kelas IIb apakah pemindahan Tony Wong ke Lapas Kelas IIa Pontianak, lantaran kini Lapas Kelas IIb Ketapang juga sebagai tempat mendekamnya mantan Kapolres AKBP. Akhmad Sun’an, beserta dua orang mantan anak buahnya. Yakni, mantan Kasat Reskrim Polres Ketapang AKP. M Kadhapy Marpaung, dan mantan Kapos Polair Ketapang Iptu. Agus Lutfiardi?
Secara tegas Kalapas Kelas IIb Ketapang membantah bahwa, hal itu tidak berhubungan sama sekali. “Pemindahan tahanan ini hanya penyegaran saja,” bantahnya.
Sementara itu, Kepala Lapas (Kalapas) Pontianak, Agus Djokohardono ketika ditanya mengenai alasan pemindahkan Tony Wong dari Lapas Ketapang ke Pontianak menjawab, pemindahan narapidana adalah peristiwa biasa dan tidak ada yang aneh-aneh. “Secara umum tidak ada hal yang mustahil,” katanya.
Pemindahan yang dilakukan adalah biasa saja. Narapidana bisa dipidana di mana saja. Kalau sisa hukuman lebih dari satu tahun, narapidana biasanya akan dikirim ke Lapas Provinsi, kata Agus ketika ditemui di ruang kerjanya.
“Jadi pada prinsipnya narapidana dipindahkan ke Lapas manapun tidak masalah, tapi harus ada dasar-dasarnya, mungkin faktor pembinaan,” katanya.
Disamping alasan pembinaan, Agus menyatakan bahwa, pemindahan juga biasa dilakukan dalam rangka pengamanan. “Dari segi pengamanan, janganlah dalam satu rumah itu ada lawan-lawannya,” kata Agus.
Namun, menurut kuasa hukum Tony Wong, Rr. Dewi Aripurnamawati, SH., dari Kantor Advokat W. Suwito, SH & Associates, melihat ada aroma tidak sedap dari proses pemindahan itu. “Bolehlah pihak Lapas memberikan dasar pemindahan dengan alasan pembinaan, namun itu tidak dilakukan dengan prosedur yang benar,” kata Dewi.
Menurutnya, kalau pemindahan aturannya tidak jelas, hal itu berarti sesuatu yang illegal, dan melanggar hak asasi kliennya. Perbuatan yang illegal yang dilegalkan. Ia menyesalkan pemindahan tanpa melalui prosesdur yang benar.
Dewi sangat menghormati protap maupun dasar yang dijadikan alasan oleh Kalapas, untuk memindahkan kliennya itu. Namun, ia sangat menyesalkan, jika pemindahan itu dilakukan untuk menekan seseorang.
“Apalagi melakukannya atas nama jabatan maupun pekerjaan. Kalau memang pemindahan dilakukan dengan dasar pembinaan, harus dilakukan dengan prosedur yang benar,” kata Dewi.
Jika ada kebijakan bahwa napi yang sudah tinggal satu tahun harus tinggal di ibukota provinsi, semua harus dilakukan untuk semua napi di Kalimantan Barat, tanpa kecuali. Kalau sudah membeda-bedakan, berarti ada tindakan diskriminasi. Kalau ada aturan atau prosedur, ia mempersilakan dijalankan pemindahan itu. Tapi, paling tidak pasti harus ada surat.
Dewi menyesalkan, karena dalam pemindahan tersebut, tidak ada surat-surat pemberitahuan yang diserahkan kepada pihak keluarga, maupun kepada kuasa hukum.
Dewi menyesalkan pemindahan itu dilakukan berdasarkan perintah. Namun, ketika diminta bukti perintah itu, tak sepucuk surat pun dilihatkan Lapas Ketapang.
“Ketika saya tanyakan mana surat perintahnya, dijawab lisan lewat telepon dari Kadispas,” kata Dewi.
TW Dipindahkan ke Lapas IIA KKR
Jum’at, 07 Agustus 2009 , 13:40:00
Sungai Raya. Terdakwa kasus Illegal Logging (IL), Tony Wong (TW) dipindahkan dari Lapas kelas IIB Ketapang ke Lapas IIA KKR, Kamis (7/8) kemarin. Perpindahan yang dilakukan oleh pihak kejaksaan ini terkesan mendadak dan tanpa pemberitahuan kepada terdakwa. TW dipindahkan ke KKR dari Ketapang dengan menggunakan pesawat Kal Star Flight, penerbangan pertama.
Dari keterangan yang berhasil dihimpun Equator dari pihak Bandara Supadio, pesawat Kal Star tersebut terbang dari Bandara Rahadi Oesman, Ketapang pukul 07.45. Pesawat kemudian mendarat di Bandara Supadio KKR, sekitar pukul 08.15 wib. Sesampainya di bandara, rombongan petugas polisi bersenjata lengkap dan Polpus Lapas tampak mengawal ketat TW.
Dari kejauhan, wartawan yang hadir di sana tidak dapat melihat begitu jelas. Dua bis PT Angkasapura yang biasanya menjemput penumpang dari pesawat sempat mengecoh para wartawan. Sepertinya hal tersebut telah diatur sedemikian rupa, menandakan pengawalan ketat memang sengaja diberlakukan untuk TW.
Dari pantauan Equator, ketika keluar dari ruang kedatangan TW mengenakan kaus berkerah berwarna cokelat dengan balutan jaket biru dan setelan celana kain berwarna cokelat. Sosok pria jangkung berkulit putih tersebut juga hanya mengenakan sandal tanpa sepatu. Tampak jelas kalau pemindahan TW sepertinya tergesa-gesa tanpa adanya persiapan. Dengan sebatang rokok di bibirnya, dia tampak santai meski dikawal ketat petugas dan menjadi perhatian banyak orang.
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Hukum dan Ham Kalbar, Djoko Hikmahadi mengaku perpindahan tersebut memang sengaja tidak diberitahukan kepada yang bersangkutan atau pun Kuasa Hukumnya. “Ketentuannya bisa itu dikarenakan permohonan yang bersangkutan atau bisa juga dengan berbagai pertimbangan salah satunya keamanan. Jadi tidak harus diberitahukan,” jelas Djoko yang merujuk Gunawan Santoso yang dipindahkan dari LP Cipinang ke Nusakambangan tanpa pemberitahuan. Djoko juga menjelaskan, dipindahkannya TW, juga untuk faktor keamanan pasca masuknya tiga perwira polisi ke Lapas Kelas IIB Ketapang.
“Laporan dari Kalapas berdasarkan pantauan intel kita di dalam, situasi di Lapas memanas. Jadi daripada terjadi sesuatu yang tidak tahu kapan waktunya, lebih baik kita antisipasi dari sekarang,” paparnya. Djoko juga tidak membantah kalau perpindahan itu dikarenakan adanya indikasi TW yang memprovokasi aksi mogok makan narapidana lainnya, sehingga menyebabkan anggota Komnas HAM pusat datang ke Ketapang. Dia juga membantah tidak ada pesanan khusus dari pihak ketiga. “Jadi perpindahan tetap kita koordinasi dengan Polres, Polda dan Kejaksaan serta Pengadilan.
Saat ini penjagaan di Lapas Kelas IIB Ketapang diperketat. Pihak Lapas meminta bantuan keamanan dengan Polres Ketapang secara tertutup,” tutur Djoko. Meski hanya bisa berdialog sejenak, namun dari pengakuannya, TW tidak menikmati penerbangannya selama 30 menit dari Ketapang ke KKR. Dari raut wajahnya kelihatan TW penasaran dan marah. Lantaran perpindahan dirinya dari Lapas Kelas IIB Ketapang ke Lapas Kelas IIA Pontianak Sui Raya tidak ada pemberitahuan dan terkesan mendadak.
“Saya tidak diberitahu mau dipindahkan. Tiba-tiba tadi pagi (kemarin, red) saya langsung dibawa ke bandara. Ada apa ini? Saya akan complain,” kesal Tony Wong. Kepada wartawan Tony Wong menyatakan akan mengajukan protes. Menurutnya jelas perlakuan yang didapatnya telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Semestinya, dirinya berhak diberitahu sebelum dilakukan perpindahan.( ROx)
Mogok Makan Ala Napi
Rabu, 15 Juli 2009 , 15:24:00 – EQUATOR POST
Cerita mogok makan biasanya dilakukan mahasiswa yang melakukan protes atas kebijakan pemerintah. Ternyata, tradisi mogok makan juga merebak ke kalangan narapidana. Sebagai bukti, seperti ditunjukkan Wengky Suwandi alias Aweng, 43 penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Ketapang. Dia melakukan mogok makan karena tak terima putusan pidana 1,6 tahun penjara dakwaan kasus illegal logging.
Namun, ada alasan lain yang menyebabkan Aweng harus melakukan tindakan nekat itu. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Sebab, banyak aktor illegal logging diperlakukan spesial. Dia tidak terima perlakuan tidak adil itu, lalu dia nekat untuk tidak makan selama di Lapas. Terlepas benar atau tidak alasan Aweng itu, yang jelas apa yang dilakukannya mengindikasikan ada ketidakberesan dalam proses hukum IL itu.
Ada orang sengaja mempermainkan kasus itu untuk mencari kekayaan. Cuma, apakah aparat hukum atau ada tidak pihak lain masih kabur. Aweng mencium bahkan merasakan ketidakberesan proses hukum terhadap dia dan kawan-kawannya. Sudah bukan rahasia lagi, memproses kasus IL beda dengan kasus curi ayam. Kalau kasus curi ayam, tak ada duitnya.
Sementara IL bisa bergelimang dengan uang. Jangan heran apabila kasus IL banyak kepentingan di dalamnya. Aparat hukum bisa saja bermain hanya untuk mendapatkan keuntungan. Atau ada pihak di luar itu mencoba mempengaruhi aparat hukum dengan berbagai iming-iming materi. Banyak pihak akan bermain dalam kasus itu.
Di sinilah perlu dituntut kejujuran aparat hukum. Jika memang benar menegakkan aturan, semua pihak terlihat IL harus diperlakukan adil, tidak ada perbedaan. Apabila tidak ada keadilan, kasus mogok makan itu akan berlanjut, dan sulit ditutupi. Kita mengharapkan, aparat hukum di atasnya, melakukan investigasi terhadap kasus itu. Hanya dengan cara itu, bisa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di Lapas Ketapang itu.*