Tag Archive | penjara

24 Mei 2012 – Komitmen Pemerintah Kepada Whistle Blower Diragukan

Kamis, 24 Mei 2012 | 10:53

Dicurigai, aparat ‘bekerjasama’ dengan mafia ilegal logging.

Komitmen pemerintah untuk melaksanakan aturan perundangan yang memberikan keringanan hukuman terhadap para whistle blower kejahatan diragukan.

Hal ini terjadi terhadap whistle blower kasus ilegal logging di Kalimantan Barat Tony Wong yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan Pembebasan Bersyarat (PB) dari Ditjen PAS Kementerian Hukum dan HAM.

Padahal, Tony Wong sudah melaporkan ke DPR soal ketidakadilan yang didapat dirinya dan narapidana beragama Budha soal tak diberikannya remisi dalam perayaan hari besar keagamaan mereka. Hal ini berbeda ketika hari besar keagamaan Islam dan Kristen, dimana para narapidana dari kedua agama itu diberi remisi.

Kemenkumham bersikap melunak setelah pelaporan itu, dan berjanji memberikan remisi Waisak kepada Tony dan napi beragama Budha lainnya.

Masalah muncul lagi terkait keberadaan Tony, yang dibuikan dalam perkara korupsi Provisi Sumber Dana Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), tidak kunjung diberi pembebasan bersyarat (PB) walau sudah menjalani 2/3 masa hukuman.

Padahal, menurut Kuasa hukum Tony Wong, Dewi Aripurnamawati, kliennya kini masuk program perlindungan saksi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Apabila komitmen melindungi napi diberi status whistle blower oleh LPSK dipenuhi, kata Dewi, harusnya Tony sudah mendapat kabar tentang PB pada kemarin.

“23 Mei kemarin adalah tanggal Pak Tony masuk masa PB karena sudah melewati 2/3 masa pemenjaraan. Nyatanya sampai hari ini kami belum mendapatkan kabar itu,” kata Dewi dalam keterangan persnya di Jakarta, hari ini.

Dewi menambahkan, seharusnya tidak ada halangan bagi Tony Wong untuk mendapatkan PB seperti narapidana lainnya. Apalagi, Tony Wong juga sudah mendapatkan perlindungan dari LPSK sebagai justice collaborator.

“Semestinya narapidana yang dilabeli justice collaborator itu dipermudah oleh negara untuk mendapatkan PB, sebagaimana Agus Condro atau Mindo Rosalina Manulang. Sayangnya, itu tidak berlaku bagi Tony Wong,” tambahnya.

Lebih lanjut Dewi menambahkan, seolah-olah kliennya memang dihambat untuk memperoleh hak-hak sebagai warga binaan baik dan bersedia membantu aparat hukum membongkar kejahatan.

Ujung-ujungnya, kata dia, kliennya justru menjadi curiga bahwa aparat ‘bekerjasama’ diam-diam dengan mafia ilegal logging yang dibongkarnya. Atau setidaknya ada pihak yang merasa khawatir jika kasus ilegal logging lainnya di Kalimantan Barat terungkap.

“Kita tidak ingin ada mafia yang masih mengendalikan aparat hukum termasuk di daerah. Klien saya merasa jadi korbannya,” tutur dia.

Tony Wong adalah pengusaha asal Ketapang, Kalimantan Barat, yang membongkar praktek mafia illegal logging di daerah itu pada 2007. Tony dipenjara terkait kasus korupsi karena keterlambatan membayar uang Provisi Sumber Dana Hutan (PSDH) dan uang Dana Reboisasi (DR).

Kasasi di Mahkamah Agung (MA) memutuskan hukuman empat tahun penjara dan denda Rp200 juta. Dia lalu berkenan menjadi whistle blower illegal logging dan dijanjikan keringanan hukuman. Tapi, apa yang dijanjikan tidak didapatkannya hingga kini.

Penulis: Markus Junianto Sihaloho/ Ratna Nuraini

 

08 May 2012 – Napi Ilegal Logging Protes Tak Dapat Remisi Waisak

NASIONAL – HUKUM

Selasa, 08 Mei 2012 , 12:34:00

Napi Ilegal Logging Protes Tak Dapat Remisi Waisak JAKARTA – Terpidana kasus ilegal logging di Kalimantan Barat, Tony Wong, merasa mendapat perlakukan diskriminatif. Tony yang kini menjalani masa hukuman di Lapas Kelas II Pontianak, tidak memperoleh remisi pada Hari Raya Waisak yang jatuh pada Minggu (6/5) lalu.

Kuasa Hukum Tony Wong, Dewi Aripurnamawati, menyesalkan tidak adanya remisi bagi kliennya. Padahal, Tony Wong adalah penganut Budha.

Menurut Dewi, napi beragama Islam dan Nasrani di Lapas Pontianak pada Idul Fitri dan Natal lalu mendapatkan remisi. “Tapi mengapa klien saya dan beberapa napi lain yang beragama Budha tidak mendapatkannya? Ini kan sangat diskriminatif,” kata Dewi kepada wartawan di Jakarta, Selasa (8/5). Menurutnya, ada beberapa napi penganut Budha yang kini dipenjara di Lapas II Pontianak juga tak mendapatkan remisi.

Lebih disayangkan lagi, kata Dewi, kliennya tidak pernah mendapat penjelasan tentang alasan tidak adanya remisi saat Waisak. “Padahal remisi yang berkenaan dengan hari raya keagamaan sudah menjadi hak semua napi yang memenuhi syarat,” ulasnya.

Dewi pun curiga, bisa jadi kliennya tak mendapatkan remisi karena menjadi justice collaborator sekaligus whistle blower kasus ilegal logging di Kalbar. “Sepertinya ada dendam dari pihak tertentu kepada Tony Wong. Apalagi klien saya sekarang sudah berada dalam program perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban),” ucap Dewi.

Sementara itu, Ketua Komnas HAM Kalbar, H Kasful Anwar yang dihubungi terpisah menyatakan sangat menyesalkan tidak diterimanya remisi Waisak oleh para napi yang beragama Budha di Lapas Klas II Pontianak itu. Selain Tony Wong, kata Kasful, ada beberapa napi lainnya yang juga bernasib sama. Di antaranya adalah Parnawan, Lim A thuan dan Lim Djan Kong.

Berdasarkan informasi yang dihimpun Komnas HAM Kalbar, imbuh dia, terdapat 21 napi yang memeluk agama Budha. “13 napi yang tidak tersangkut pelanggaran PP 28, mereka diberikan remisi Waisak. “Napi yang memperoleh remisi itu adalah dari kanwil Kemnekumham Kalbar. Sedangkan 8 orang ini harus dibedakan karena harus mendapatkan remisi melalui keputusan Menteri Hukum dan HAM di Jakarta,” ungkapnya.

Ditambahkan Kasful, para napi yang tidak mendapatkan remisi Waisak itu juga tidak diberikan penjelasan secara resmi oleh pihak Lapas. Padahal, remisi harus diumumkan secara terbuka dan transparan agar tidak ada kecurigaan adanya permainan dalam pemberian remisi ini.

“Komnas HAM Kalbar mendapat laporan dari keluarga napi yang tidak mendapatkan remisi Waisak ini. Tidak ada penjelasan. Napi yang menerima remisi juga tidak ada acara apa-apa. Padahal, kalau pada saat Idul Fitri, selalu ada perayaan dan diserahkan usai salat Ied,” tambahnya.

Kasful Anwar juga meminta Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin untuk melakukan evaluasi ke jajarannya agar tidak sampai terjadi tindakan yang diskriminatif.

Seperti diketahui, Tony Wong adalah pengusaha asal Ketapang, Kalimantan Barat yang membongkar praktek mafia illegal logging di daerah itu pada tahun 2007. Praktek mafia ilegal logging yang merugikan negara ratusan triliun rupiah ini melibatkan cukong asal Malaysia dan sejumlah aparat penegak hukum.

Namun Tony justru diseret dan dipidana terkait kasus korupsi karena keterlambatan membayar uang Provisi Sumber Dana Hutan (PSDH) dan uang Dana Reboisasi (DR). Namun, imbuh dia, pada tanggal 26 May 2008 PN Ketapang memutus vonis bebas. Tapi JPU memaksa untuk Kasasi. Oleh MA kurang dari 2 bulan setelah berkas diterima, berdasarkan putusan No.1481 K/pid.Sus/2009 tanggal 21 Oktober 2008, Tony Wong divonis hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta.(fuz/jpnn)

27 Apr 2012 – Ungkap Mafia Hutan, LPSK Lindungi Tony Wong

(http://www.lpsk.go.id/page/4f99f5f141c8e)

INILAH.COM, Jakarta – Harapan terpidana ilegal logging dan korupsi dana Propinsi Sumber Dana Hutan dan Dana Reboisasi (PSDH-DR), Tony Wong, untuk mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terkabul.

Lembaga yang dipimpin Abdul Haris Semendawai itu menindaklanjuti permintaan pengusaha asal Ketapang, Kalimantan Barat, dengan mengirimkan rekomendasi ke Kejaksaan Agung dan Kejari Ketapang.

“Kami sudah mengirimkan rekomendasi itu kepada Kejagung dan Kejari Ketapang. LPSK merekomendasikannya sebagai justice collaborator. Karena itu, Kejagung harus memberikan perlindungan sesuai dengan hak-haknya sebagai seorang whistle blower,”ucap Humas LPSK, Maharani Siti Sopia, di Jakarta, Kamis (26/4/2012).

Dijelaskannya, pemberian perlindungan kepada Tony diputuskan LPSK dengan mempertimbangkan beberapa hal. Salah satunya menyangkut keberanian Tony membongkar praktik ilegal logging di Ketapang. Yang mana keberaniannya mengungkap praktik tersebut membuat Tony dijebloskan ke penjara oleh aparat yang merasa dendam kepadanya.

Dengan dikabulkannya permohonan Tony Wong, imbuh Maharani, yang bersangkutan juga mempunyai hak-hak untuk mendapatkan pemotongan masa tahanan (remisi) dan pembebasan bersyarat, seperti halnya Agus Condro yang berani mengungkap kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (DGS BI) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Kami juga rekomendasikan mengenai kemudahan proses Pembebasan Bersyarat (PB), karena yang bersangkutan juga sedang dalam proses,”sambungnya.

Tony Wong sendiri mengapresiasi pemberian perlindungan LPSK. Melalui kuasa hukumnya, Dewi Aripurnamawati, ia mengaku senang apa yang dilakukan LPSK. Apalagi dalam kasus tersebut, kliennya diketahui telah berani mengungkap praktek ilegal logging di Ketapang, Kalbar. Yang mana atas keberaniannya itu, Tony Wong akhirnya dijebloskan ke penjara oleh aparat setempat.

“Semua orang tahu bahwa Tony Wong yang membongkar praktek ilegal loging di Ketapang. Atas keberaniannya dia dipenjara oleh aparat yang dendam dengannya, sehingga sudah seharusnya negara ini memberikan perlindungan kepadanya. Meski agak terlambat, kami tetap berterima kasih,”tukas Dewi.

Pihaknya sendiri berharap Kejagung dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) tidak lagi mempersulit hak Tony Wong untuk mendapatkan pembebasan bersyarat (PB).

Tony Wong diketahui membongkar praktek mafia illegal logging yang diduga merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah di Ketapang, Kalbar, tahun 2007 lalu. Akibatnya ia dikriminalisasi dengan dijerat pasal korupsi perkara keterlambatan pembayaran uang PSDH-DR.[jat]

Oleh: Sumitro

26 Apr 2012 – LPSK Berikan Perlindungan kepada Tony Wong

NASIONAL – HUKUM

Kamis, 26 April 2012 , 17:46:00

Dilindungi LPSK, Tony Wong Berharap Segera Bebas Bersyarat

JAKARTA – Terpidana ilegal loging dan korupsi dana Provisi Sumber Dana Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), Tony Wong akhirnya mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Menurut Humas LPSK, Maharani Siti Sopia, keputusan pemberian perlindungan tersebut diambil LPSK karena beberapa pertimbangan, salah satunya Tony Wong dianggap bena-benar menjadi justice colaborator dalam perkara ilegal loging di Ketapang.

“Kami sudah mengirimkan rekomendasi itu kepada Kejagung dan Kejari Ketapang. LPSK merekomendasikannya sebagai justice collaborator. Karena itu, Kejaksaan Agung harus memberikan perlindungan sesuai dengan hak-haknya sebagai seorang whistle blower,” kata Maharani kepada wartawan di Jakarta, Kamis (26/4).

Maharani juga menyebutkan bahwa dengan rekomendasi dari LPSK itu, maka Tony Wong juga berhak mendapatkan kemudahan remisi dan Pembebasan Bersyarat sebagaimana yang diberikan kepada Agus Condro.

“Kami rekomendasikan juga soal kemudahan proses Pembebasan Bersyarat (PB) ini. Karena yang bersangkutan juga sedang dalam proses,” tambahnya.

Sementara itu, Kuasa Hukum Tony Wong, Dewi Aripurnamawati menyatakan bahwa perlindungan dari LPSK ini memang agak terlambat. Meski begitu, sambung dia, dirinya tetap mengapresiasi.

“Semua orang tahu Tony Wong yang membongkar praktek ilegal loging di Ketapang, Kalimantan Barat. Atas itulah dia dipenjara oleh aparat yang dendam dengannya. Jadi sudah seharusnya negara ini memberikan perlindungan kepadanya. Meski agak terlambat, kami tetap berterima kasih,” tegas Dewi.

Ditambahkan, dengan keluarnya rekomendasi dari LPSK, maka tidak ada alasan bagi Kejagung dan Kemenkum HAM untuk tidak memberikan pembebasan bersyarat (PB) kepada Tony Wong.

“Selama ini, PB-nya terkesan diganjal. Dengan rekomendasi dari LPSK ini, maka kami berharap Tony Wong juga memperoleh kemudahan Pembebasan Bersyarat seperti Agus Condro,” imbuhnya.

Seperti diketahui, Tony Wong pengusaha asal Ketapang, Kalimantan Barat yang membongkar praktek mafia illegal logging di daerah itu pada tahun 2007. Praktek mafia ilegal logging yang merugikan negara ratusan triliun rupiah ini melibatkan cukong asal Malaysia dan sejumlah pejabat, termasuk aparat kepolisian. Kasus ini menjadi perhatian media massa nasional dan petinggi Polri hingga Presiden.

Akibat aksinya itu, Tony Wong harus menerima perlakuan kriminalisasi oleh aparat hukum yang menaruh dendam. Tony Wong dijerat pasal korupsi untuk perkara keterlambatan membayar uang Provisi Sumber Dana Hutan (PSDH) dan uang Dana Reboisasi (DR). “Ini kan perkara perdata, tapi dipaksakan masuk kasus korupsi agar Tony Wong bisa segera ditangkap,” kata Dewi Aripurnamawati.

Namun, imbuh dia, pada tanggal 26 May 2008 PN Ketapang memutus vonis bebas. Tapi JPU memaksa untuk Kasasi. Oleh MA kurang dari 2 bulan setelah berkas diterima, berdasarkan putusan No.1481 K/pid.Sus/2009 tanggal 21 Oktober 2008, Tony Wong divonis hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta.

Ditambahkan, karena perkara tersebut di PN Ketapang dibebaskan, maka aparat kepolisian kembali menangkap Tony Wong dengan perkara Ilegal logging dengan objek hukum milik orang lain. “Mungkin teman-teman ingat, Pak Tony Wong yang baru keluar lapas Ketapang karena divonis bebas, langsung dihadiahi surat penangkapan oleh polisi. Lapas Ketapang dikepung oleh ratusan polisi agar Tony Wong tidak bisa lari,” tambah Dewi.

Oleh majelis hakim PN Ketapang, Tony Wong divonis 10 bulan dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat. Namun, Mahkamah Agung lagi-lagi memvonisnya 5 tahun dan denda Rp10 juta dalam keputusan No.2280 K/Pid.Sus/2009 tanggal 29 Nopember 2010.

“Yang aneh adalah eksekusinya, Pak Tony Wong sudah menjalani hukuman pada kasus yang pertama selama 3 tahun lebih. Tepat tanggal 30 Mei 2011, tepatnya 7 jam menjelang bebas, Kejari Ketapang mengesekusi vonis perkara kedua ini. Klien kami tidak menerima salinan aslinya dari putusan MA itu, hanya berupa fotocopy fax yang bersumber dari Pengadilan Tinggi Pontianak ,” jelas Dewi lagi.

“Ironisnya, sampai saat ini di website MA, Perkara No : 2280 K/Pid.Sus/2009 masih dalam status pembahasan team J. Namun, dalam petikannya sudah diputuskan 29 Nopember 2010 lalu. Jadi kami bingung, mana yang benar,” tambahnya.

Setelah menjalani semua hukuman itu, terang Dewi, kini Tony Wong berupaya mendapatkan haknya untuk proses Pembebasan Bersyarat (PB). Sayangnya, kejaksaan kembali mengganjalnya dengan alasan Tony Wong masih memiliki perkara No 103/Pid.B/2004/PN.KTP tahun 2004 yang belum diputuskan MA.

“Klien kami juga berperkara pada tahun 2004. Dalam perkara itu JPU menuntut 4 bulan penjara, namun majelis PN Ketapang dalam putusannya melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum (On Recht Van Verfolging), memulihkan harkat dan martabat terdakwa seperti sedia kala,” terang Dewi dengan panjang lebar.

Atas putusan ini, jelas Dewi, JPU mengajukan kasasi dengan Nomor Akta Kasasi 08/Akta.Pid/2004/PN. KTP dan berkas perkara tersebut telah dikirimkan oleh Pengadilan Negeri Ketapang ke Mahkamah Agung RI dengan surat pengantar No: W11.D8.HN.01.10-842, tanggal 29 September 2004. “Hingga saat ini belum ada putusan dari MA, apakah terdaftar atau tidak, juga tak jelas, anehnya perkara tsb juga tidak dapat kami temukan dari daftar 188 Perkara yang diajukan PN Ketapang ke MA dalam priode 2001-2011” tambahnya.

“Jadi dengan dalih perkara inilah, Kejari tidak bersedia memberikan “surat keterangan tidak ada perkara lain” untuk klien saya. Kan aneh, perkara tahun 2008 sudah divonis, tapi perkara tahun 2004 masih menggantung . Celakanya, daftar perkara ini tidak tercatat dalam website MA. Kami menduga, ada yang bermain dalam kasus ini agar klien kami tetap ditahan karena banyak pihak yang tidak nyaman akibat kasusnya dibongkar,” pungkas Dewi.

Dewi juga menyebutkan, Kanwil Hukum dan HAM Kalbar sudah menyurati MA untuk meminta penjelasan Perkara No 103/Pid.B/2004/PN.KTP tahun 2004 , namun belum memperoleh jawaban resmi dari MA. (fuz/boy/jpnn)

20 Apr 2012 – Penahanan Tony Wong Dinilai Langgar HAM

Oleh: Berita Khatulistiwa
Jumat, 20 April 2012, 01:40 WIB

INILAH.COM, Pontianak – Komisi III DPR-RI menilai penahanan terhadap Tony Wong terdapat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Pasalnya tetap mendekap dalam tahanan, padahal seyogyanya sudah selesai menjalani masa pidana. Karena Kejaksaan Negeri Ketapang menyebut dirinya masih ada kasus yang belum selesai.

“Dari laporan-laporan yang kita dapat, ini jelas pelanggaran HAM. Memang ada penyimpangan dari penegak hukum, tapi kita belum klarifikasi. Karena itu kita di banleg mengutamakan adanya perubahan. Supaya kejaksaan jangan melanggar UU,” kata Anggota Komisi III DPR-RI Nudirman Munir disela kunjungan kerja, Kamis (19/4) ke Lembaga Pemasyarakat Klas II A Pontianak.

Ia menyatakan penjelasan kejaksaan sangat diperlukan dalam permasalahan Tony Wong. Supaya secara jelas diketahui duduk permasalahannya. Karena pihaknya memerlukan informasi berimbang. Sementara ini informasi baru diperoleh dari pihak Tony Wong.

Menurut dia, Kejaksaan Agung akan dimintai klarifikasi kasus penahanan Tony Wong. Terkait masalah Tony Wong belum bisa mendapatkan pembebasan bersyarat. Karena Kejaksaan Negeri Ketapang tidak mengeluarkan surat keterangan tidak ada perkara lain sebagai syarat. Kejari menganggap Tony Wong masih tersangkut kasus tahun 2004.

“Untuk kejelasannya semua akan dimintai klarifikasi. Kalau memang ada kesalahan di Kejari Ketapang, maka harus ditindak. Termasuk penjelasan sampai kasusnya tidak teregister di Mahkamah Agung (MA). Kalau terbukti bersalah semua bisa dipidana,” jelas Politisi Partai Golkar, ini.

Karena itu, lanjut Nudirman, badan legislasi Komisi III dapat segera ketok palu pada 2012 tentang perubahan kejaksaan. Dimana, dalam perubahan itu diatur sanksi kepada Jaksa yang melanggar pidana dapat dikenai pidana maksimal 15 tahun penjara. “Nanti kita akan minta klarifikasi. Mudah-mudahan pelanggaran HAM seperti ini tidak terjadi lagi,” harapnya.

Sementara Tony Wong menilai sistem hukum yang berjalan sudah tidak sesuai prosedur. Membuat dirinya harus menjalani hukum untuk perkara tindak pidana korupsi maupun ilegal logging. Meski sudah habis masa hukuman, tetap berada di tahanan. Karena dianggap mempunyai perkara di tahun 2004 yang belum selesai.

“Saya hanya ingin keadilan. Kalau hukum seperti ini bukan memberikan rasa keadilan. Ini seperti balas dendam kepada saya,” kesalnya.

Oleh karena itu, Tony Wong menyampaikan sikap protes terhadap kejaksaan yang membuatnya harus kehilangan hak mendapatkan pembebasan bersyarat. Padahal dirinya telah membuat laporan ke Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham RI. Mengadukan kasusnya pada tahun 2007 dan 2009 sudah diputuskan sekaligus telah menjalani hukuman. Sementara kasus yang tahun 2004 belum selesai, dia sudah menjalani hukuman untuk putusan tahun 2007 dan 2009.

“Saya minta dukungan DPR, putusan saya tidak ada di MA. Kejaksaan arogan,” kata dia.
Diketahui, Tony Wong dipidana dalam perkara ilegal loging dan korupsi Provisi Sumber Dana Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi. Kedua perkara tersebut digunakan kepolisian dan kejaksaan Ketapang untuk menangkap Tony Wong yang telah membongkar praktek ilegal loging di Ketapang. Padahal diduga praktek ilegal loging tersebut mengakibatkan kerugian negara hingga ratusan triliun rupiah.

Akibat “nyanyian” Tony Wong, puluhan cukong kayu ilegal yang sebelumnya tidak pernah tersentuh hukum akhirnya ditangkap. Bahkan belasan aparat hukum dipecat dan sebagian lagi dimutasi dari jabatannya. “Praktek ilegal loging itu saya bongkar karena saya mencintai negeri ini. Tapi, hukum negeri ini malah menghadiahi saya penjara selama 9 tahun. Hukum yang dibuat-buat oleh aparat yang dendam dengan saya,” tuding Tony Wong. [gus]

Terpidana Ilegal Logging Merasa Dipersulit Dapatkan PB

By JPNN , Updated: 22/02/2012

JAKARTA – Terpidana kasus ilegal logging di Kalimantan Barat, Tony Wong, merasa dipersulit dalam mendapatkan Pembebasan Bersayarat (PB). Pasalnya, Kantor Wilayah (Kanwil) Kementrian Hukum dan HAM, Kalimantan Barat kesulitan memroses berkasa PB untuk Tony karena tidak adanya surat keterangan bebas perkara dari Kejaksaan Negeri Ketapang, Kalimantan Barat.

Penasihat hukum Tony Wong, Dewi Aripurnamawati dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (22/2), menyatakan bahwa kliennya seolah dipersulit dalam mendapat surat keterangan bebas perkara. Padahal, kata Dewi, Tony adalah whistle blower kasus ilegal logging di Kalbar.

“Kami minta agar Kementerian Hukum dan HAM tidak melanggar hukum apalagi melanggar HAM. Kalau seperti Agus Condro atau whistle blower yang lain diberikan PB, kenapa klien kami dipersulit?” kata Dewi.

Dipaparkannya, Tony yang pada 2007 divonis bersalah dan dihukum selama empat tahun dalam perkara korupsi dana Proposisi Sumber Daya Hutan dan Dana Reboisasi (PSDHDR), sebenarnya sudah selesai menjalani masa penahanan. Hanya saja, imbuh Dewi, Tony diganjal dengan perkara lain tahun 2004 yang tengah dalam proses kasasi. Permohonan kasasi diajukan oleh jaksa penuntut umum. “Ini ironis, perkara tahun 2007 yang memenjarakan Tony Wong sudah diputus oleh MA, namun perkara tahun 2004 masih menggantung,” kata Dewi.

Sementara itu, Kadiv Pemasyarakatan Kanwil Kementerian Hukum dan HAM Kalbar, Solo Gultom yang ditemui di sela-sela pembekalan Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pemasyarakatan se-Indonesia di Jakarta, Rabu (21/2), mengatakan bahwa pihaknya tetap menyampaikan berkas permohonan PB Tony Wong ke Ditjen Pemasyarakatan Kemkumham. Menurut Gultom, usulan tersebut sudah sesuai dengan undang-undang karena Tony telah memenuhi persyaratan secara hukum dan administratif, yaitu menjalani 2/3 masa hukuman, berkelakuan baik selama masa pemenjaraan, serta sudah membayar denda sesuai dengan putusan majelis hakim.

“Semua sudah saya laporkan ke Pak Dirjen. Sekali lagi, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mengusulkan pemberian PB kepada warga binaan. Kalau tidak, maka kita sebagai aparatur pemerintah yang melanggar HAM,” tegas Gultom.

Terkait belum adanya surat dari Kejari Ketapang bahwa Tony Wong tidak sedang berperkara dalam kasus lain, Gultom mengaku sudah sudah melakukan pengecekan ke banyak pihak.

“Di MA tidak teregistrasi, Kejari Ketapang yang mengklaim sudah mengirimkan berkas kasasi sejak tahun 2004 lalu, juga tidak memiliki surat keterangan perkaranya sudah diterima oleh MA. Kajari sendiri mengakui tidak teregistrasi. Jadi kita sebagai aparat tidak boleh ikut permainan yang tidak sesuai hukum,” tegas Gultom.

Gultom juga mengaku prihatin dengan kondisi Tony yang kesulitan dalam memperjuangkan PB. “Saya menilai Tony Wong layak mendapatkan status sebagai whistle blower. Jadi tidak perlu dipersulit proses PB-nya,” tegasnya.

Untuk diketahui bahwa dalam perkara korupsi PSDHDR, Tony pernah divonis bebas oleh PN Ketapang pada 26 Mei 2008 dalam. Atas vonis tersebut, jaksa mengajukan upaya hukum kasasi ke MA. Dua bulan kemudian, MA menyatakan Tony bersalah serta menjatuhkan pidana penjara selama empat tahun dan membayar denda Rp 200 juta.

Namun ternyata kepolisi setempat juga menjerat Tony dengan pasal illegal logging, tak berselang lama setelah pengusaha kayu itu divonis bebas oleh PN Ketapang. Pengadilan tersebut pun menjatuhkan pidana penjara selama 10 bulan terhadap Tony yang kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat. Sementara di tingkat kasasi, MA menjatuhkan vonis berupa pidana penjara selama lima tahun kepada Tony, serta denda sebesar Rp 10 juta. Vonis itu dijatuhkan pada 29 November 2010.

Hanya saja eksekusi vonis kedua tersebut dilakukan justru menjelang pemberian PB pada 30 Mei 2011. Hanya saja upaya untuk mendapatkan PB terhalang karena kejaksaan setempat menyatakan bahwa Tony masih memiliki perkara lain yang belum divonis. (boy/jpnn)

 

Whistle Blower Ilegal Logging Layak Pembebasan Bersyarat

Tribunnews.com – Senin, 13 Februari 2012 13:40 WIB
 
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tokoh Adat Dayak Kalimantan Barat (Kalbar), Stefanus Paiman mengatakan sangat mendukung langkah Kanwil Hukum dan HAM yang tetap memproses Pembebasan Bersyarat untuk Tony Wong, terpidana ilegal loging di Ketapang. Apalagi Tony Wong yang membongkar praktik illegal loging di Ketapang yang sempat menghebohkan tahun 2007-2008 lalu. Menurut Stefanus, apa yang dilakukan Kadiv Pas Kanwil Hukum dan HAM Kalimantan Barat , Solo Gultom untuk terus mengusulkan pembebasan bersyarat itu sudah benar. “Jadi kalau ada pihak yang memiliki kepentingan dalam kasus ini, sehingga PB Tony Wong dipersulit, kami yakin Pak Gultom sangat bersih. Ini harus didukung untuk penegakan hukum yang benar dan adil di negara kita,” kata Stefanus dalam rilisnya kepada Tribunnews.com.

Kadiv Pas Kanwil Hukum dan HAM Kalimantan Barat , Solo Gultom engatakan pihaknya tetap akan mengusulkan pemberian Pembebasan Bersyarat (PB) kepada Tony Wong  yang kini menghuni Lapas Klas IIA Pontianak. Menurut Gultom langkah ini sudah sesuai dengan undang-undang karena terpindana telah memenuhi persyaratan secara hukum dan administratif, yaitu menjalani dua pertiga masa hukuman, berkelakuan baik serta sudah membayar denda sesuai dengan putusan majelis hakim dalam perkara itu.

“Tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mengusulkan pemberian pembebasan bersyarat kepada warga binaan kami. Kalau tidak, maka kita sebagai aparatur pemerintah yang melanggar HAM,” tegasnya, Senin (13/2/2012) pagi.

Gultom juga mengaku prihatin dengan kondisi Tony Wong yang dipersulit mendapatkan proses Pembebasan Bersyarat. Padahal, kata Gultom, semua orang tahu bahwa Tony Wong-lah yang membongkar praktik illegal loging di Ketapang yang sempat menghebohkan tahun 2007-2008 lalu.

“Justeru karena suaranya itulah polisi menangkap cukong besar karena mendapat perhatian Mabes Polri. Nah, atas suaranya itu juga banyak pihak yang tidak suka. Saya menilai Tony Wong layak mendapatkan status sebagai whistle blower. Jadi tidak perlu dipersulit proses PB-nya,” tegas Gultom. Tony Wong, pengusaha asal Ketapang, Kalimantan Barat iri dengan Agus Condro. Tidak seperti dirinya, Agus dapat begitu mudah memperoleh pembebasan bersyarat.

Padahal, sama seperti Agus, Tony Wong adalah whistle blower kasus mafia ilegal logging di Kalimantan Barat pada tahun 2007 yang melibatkan cukong asal Malaysia dan sejumlah pejabat, termasuk aparat kepolisian.

Awalnya, Tony divonis bebas oleh PN Ketapang pada 26 Mei 2008. JPU pun mengajukan kasasi ke MA. Dua bulan berselang, MA pun mengeluarkan putusan kasasi yang menyatakan Tony bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara selama empat tahun dan denda Rp 200 juta.

Di sisi lain, tak lama setelah vonis bebas dari PN Ketapang, Tony kembali diperkarakan dalam kasus ilegal logging. Tony Wong yang baru keluar lapas Ketapang pun langsung disambut  surat penangkapan oleh polisi.

Proses hukum pun berjalan. Oleh majelis hakim PN Ketapang, Tony Wong divonis 10 bulan dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat. Sementara ditingkat kasasi, MA mengganjar Tony dengan pidana 5 tahun dan denda Rp 10 juta sesuai putusan nomor 2280 K/Pid.Sus/2009 tanggal 29 Nopember 2010.

Setelah menjalani semua hukuman itu, terang Dewi, kini Tony Wong berupaya mendapatkan haknya untuk proses Pembebasan Bersyarat (PB). Sayangnya, kejaksaan kembali mengganjalnya dengan alasan Tony Wong masih memiliki perkara nomor 103/Pid.B/2004/PN.KTP tahun 2004 yang belum diputuskan MA.

Editor: Anita K Wardhani
Akses Tribunnews.com lewat perangkat mobile anda melalui alamat m.tribunnews.com

PB Agus Condro picu kecemburuan napi lain

Selasa, 01-November-2011 (17:37:08 WIB) | Nebby Mahbubirrahman

Jakarta
Pemberian Pembebasan Bersyarat (PB) bagi terpidana kasus cek pelawat Agus Condro menimbulkan kecemburuan bagi narapidana lainnya. Jika Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana konsisten dengan ucapannya, terpidana lainnya yang juga menjadi whistle blower mestinya juga menerima PB.

Pernyataan itu, disampaikan Dewi Aripurnamawati kuasa hukum terpidana kasus pembalakan liar (illegal logging), Tony Wong, yang kini mendekam di
Lapas Ketapang.

Kendati Tony dianggap sebagai whistle blower, proses PB untuknya masih menggantung. Alasannya, karena Kejaksaan dan Mahkamah Agung (MA) tidak mengeluarkan Surat Keterangan Tidak Ada Perkara Lain untuk Tony. “Klien kami, Tony Wong harusnya sudah memperoleh PB pada 25 Oktober 2011 lalu. Namun, prosesnya menjadi menggantung karena tidak adanya keterangan tidak sedang beperkara dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Ketapang dan MA,” ucap Dewi, di Jakarta, Selasa (1/11).

Lebih lanjut Dewi memaparkan, Tony Wong adalah pengusaha asal Ketapang, Kalimantan Barat yang membongkar praktik mafia illegal logging di daerah itu pada tahun 2007. Praktik mafia illegal logging itu melibatkan cukong
asal Malaysia dan sejumlah pejabat, termasuk aparat kepolisian. Kasus ini
pernah menjadi perhatian media massa nasional dan petinggi Polri.

“Tapi Pak Tony Wong malah menerima perlakuan kriminalisasi oleh aparat
hukum yang menaruh dendam. Klien kami dijerat pasal korupsi untuk perkara keterlambatan membayar uang Provisi Sumber Dana Hutan (PSDH) dan uang Dana Reboisasi (DR). Ini kan perkara perdata, tapi dipaksakan masuk kasus korupsi agar Tony Wong bisa segera ditangkap,” jelas Dewi.

Dewi menuturkan, mulanya Tony divonis bebas oleh PN Ketapang pada 26 Mei 2008.  JPU pun mengajukan kasasi ke MA. Kurang dari dua bulan sejak kasasi, MA menyatakan Tony bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara selama empat tahun dan denda Rp200 juta.

Namun tak lama setelah vonis bebas dari PN Ketapang, Tony justru kembali diperkarakan. Ia dijerat polisi terkait kasus illegal logging pula.  Menurut Dewi, kasus kedua itu sama sekali tak menyeret kliennya. Tony Wong yang baru keluar Lembaga Pemasyarakatan Ketapang karena divonis bebas, langsung disambut surat penangkapan oleh polisi.

Selanjutnya proses hukum pun berjalan. Oleh majelis hakim PN Ketapang, Tony Wong divonis 10 bulan dan dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat.  Sementara ditingkat kasasi, MA mengganjar Tony dengan pidana lima tahun dan denda Rp10 juta sesuai putusan No.2280 K/Pid.Sus/2009 tanggal 29 Nopember 2010.

“Yang aneh adalah eksekusinya, Pak Tony Wong sudah menjalani hukuman pada kasus yang pertama selama tiga tahun lebih. Tanggal 30 Mei 2011, tepatnya tujuh jam menjelang bebas, Kejari Ketapang mengesekusi vonis perkara kedua ini. Klien kami tidak menerima salinan aslinya dari putusan MA itu, hanya berupa fotokopi fax yang bersumber dari Pengadilan Tinggi Pontianak ,” jelas Dewi.

“Ironisnya, sampai saat ini di laman MA, Perkara No : 2280 K/Pid.Sus/2009 masih dalam status pembahasan Tim J. Namun, dalam petikannya sudah diputuskan 29 Nopember 2010 lalu. Jadi kami bingung, mana yang benar,” tambah Dewi.

Setelah menjalani semua hukuman itu, terang Dewi, kini Tony Wong berupaya mendapatkan haknya untuk proses PB. Sayangnya, kejaksaan kembali mengganjalnya dengan alasan Tony Wong masih memiliki perkara No 103/Pid.B/2004/PN.KTP tahun 2004 yang belum diputuskan MA.

“Klien kami juga berperkara pada tahun 2004. Dalam perkara itu JPU menuntut empat bulan penjara, namun majelis PN Ketapang dalam putusannya melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum (On Recht Van Verfolging), memulihkan harkat dan martabat terdakwa seperti sediakala,” kata Dewi.

Atas putusan ini, jelas Dewi, JPU mengajukan kasasi dengan Nomor Akta Kasasi 08/Akta.Pid/2004/PN. KTP dan berkas perkara tersebut telah dikirimkan oleh Pengadilan Negeri Ketapang ke MA dengan surat pengantar No: W11.D8.HN.01.10-842, tanggal 29 September 2004.

“Hingga saat ini belum ada putusan dari MA, apakah terdaftar atau tidak, juga tak jelas. Anehnya perkara tersebut juga tidak dapat kami temukan dari daftar 188 Perkara yang diajukan PN Ketapang ke MA dalam priode 2001-2011. Jadi dengan dalih perkara inilah, Kejari tidak bersedia memberikan surat terangan tidak ada perkara lain untuk klien saya,” tegas Dewi.

“Kan aneh, perkara tahun 2008 sudah divonis, tapi perkara tahun 2004 masih menggantung. Celakanya, daftar perkara ini tidak tercatat dalam laman MA. Kami menduga, ada yang bermain dalam kasus ini agar klien kami tetap ditahan karena banyak pihak yang tidak nyaman akibat kasusnya dibongkar,” imbuh Dewi.

Dewi juga menyebutkan, Kanwil Hukum dan HAM Kalbar sudah menyurati MA untuk meminta penjelasan Perkara No 103/Pid.B/2004/PN.KTP tahun 2004 , namun belum memperoleh jawaban resmi dari MA.

Redaktur : Oki Baren
(oki@gresnews.com)

 

Jangan coba-coba jadi Whistle Blower

Jangan  Coba-coba Jadi Whistleblower

Oleh: Tony Wong

RENCANA  Ketua Mahkamah Agung, Prof H Harifin A Tumpa untuk mengeluarkan Surat Edaran  Mahkamah Agung (SEMA) untuk memberikan perhatian kepada peniup peluit atau Whistleblower sesungguhnya memberikan harapan baru agar penegakan hukum, khususnya  pemberantasan korupsi yang menggerogoti bangsa ini bisa diminimalisir.

Tapi, apakah harapan itu bisa kita titipkan sebaik-baiknya karena Mahkamah Agung (MA) memiliki ketulusan untuk menegakkan hukum di negeri ini? Tunggu dulu.

Baiklah,  dari pengapnya dinding penjara Lembaga Pemasayarakatan Klas IIA Sungai Raya,  Pontianak, Kalimantan Barat, perkenankan saya menguraikan pengalaman pribadi  saya sebagai seorang peniup peluit (whistleblower)  atas kejahatan yang dilakukan para penegak  hukum di negeri ini, yang justru menjadi pesakitan dalam dua kasus  pidana. Para penegak hukum, khususnya kepolisian yang  sakit hati lantaran saya membongkar kasus  mafia illegal logging di Ketapang, Kalimantan Barat, berupaya mencari-cari  kesalahan saya. Targetnya, menangkap saya dan  memenjarakan saya. Tak peduli benar atau tidak tuduhan yang dialamatkan  kepada saya, yang penting bisa menangkap dan  memenjarakan saya. Ini pembungkaman secara khas yang dirancang secara khusus  oleh mereka yang mengaku penegak hukum.

Kasus  saya bermula pada tayangan Metro Realitas  pada 26 Maret 2007 (saya sebagai salah satu Narasumber). Saya juga  melaporkan ke Mabes Polri praktek pembalakan  liar di wilayah Ketapang, Kalimantan Barat. Para mafia ini dengan leluasa  menjarah kayu di Kalbar untuk dijual ke Malaysia atau beberapa negeri lainnya.   Jutaan kubik kayu dari bisnis haram itu tentu melibatkan banyak oknum di  kepolisian, dan pasti, aparat yang memiliki kemampuan untuk menjerat mereka,  juga kecipratan.

Kabareskrim  Mabes Polri Komjen Bambang Hendarso Danuri atau BHD (kemudian menjadi Kapolri),  langsung membentuk team pencari fakta yang diketua oleh Kombes Pol William Lameng turun ke TKP Bukit Lawang, tempat pusat pembalakan liar sebagaimana yang  saya laporkan . Sebagai pejabat tinggi Polri, BHD tak perlu “kulonuwan” kepada  Polda Kalbar dan Polres Ketapang. dan team menemukan dan menyita puluhan ribu  kubit ilegal sebagaimana yang saya laporkan, baik yang ada dihutan maupun yang  berada diberbagai Saw Mill di Kab Ketapang .

Apakah  saya mendapatkan penghargaan? Boro-boro penghargaan, perlindungan hukum pun  tidak ada. Demi Tuhan, saya tidak berharap penghargaan dari negara ini. Saya  hanya ingin agar hukum ditegakkan dengan benar, adil dan transparan. Saya  sangat cinta kepada bangsa dan negara ini.

Maka  tibalah bencana bagi saya. Tepatnya pada pada 7 Mei 2007, saya ditangkap oleh  Resmob Polda Kalbar di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta, dengan tuduhan korupsi  dana Provisi Sumber Daya Hutan/Dana Reboisasi (PSDH-DR). Seperti teroris yang  tak punya hak apapun saya ditahan. Saya meminta agar dilaporkan ke Polsek Metro  Cengkareng dan meminta diproses di Mabes Polri, sementara Polda Kalbar memaksa  membawa saya kembali ke Kalbar.

Dalam  persidangan yang penuh dengan rekayasa dari kepolisian maupun kejaksaan, tak  ada saksi yang bisa menjawab pertanyaan saya, selau terdakwa, untuk menjerat  hukum kepada saya. Tudingan saksi dari pejabat BPKP yang menjelaskan nilai  korupsi saya, justru tidak ada dasarnya.

Makanya,  dengan tegas majelis hakim mengganjar vonis bebas murni kepada saya dari segala  dakwaan itu. Karena memang dana PSDH-DR adalah urusan Perdata dan sudah saya  lunasi.

Bebaskah  saya? Tidak. Tiga langkah kaki saya keluar gedung Lapas Klas IIB Ketapang,  ratusan anggota polisi dari Polres Ketapang sudah menghadang dengan surat  penangkapan baru. Saya dituduh melakukan illegal logging. Tak cukup dengan itu,  saya juga akan dijerat dengan UU Pencucian Uang, sehingga rekening saya  dibekukan. Saya tidak saja dinistakan, tetapi juga dibunuh secara ekonomi.  Meski belakangan rekening saya dibuka kembali.

Para  polisi yang menangkap saya ini, termasuk Kapolres Ketapang AKBP A Sun’an Cs,  akhirnya juga terbukti ditangkap sebagai pelaku illegal logging oleh Mabes Polri.

Saya  menyadari sebagai target, objek sebagai sebuah dendam yang dipendam oleh aparat  penegak hukum, yang bisa menangkap, menahan, menuntut dan memenjarakan. Maka  dengan berbagai kasus yang didakwakan itu, tak diperlukan lagi kebenaran. Yang  penting saya ditangkap dulu, dipenjarakan kembali.

Meski  dari balik tembok penjara Ketapang saya tetap selalu mengirim  berita aktivitas Ilegal Logging di Ketapang  yang makin tidak terkendali ke Mabes Polri dan media massa, khususnya TV.  Metro Realitas mengutip statement saya pada edisi  02 Januari 2008 yang mengatakan Ketapang Sarangnya Ilegal Logging.

Dampak  statement saya itu, Mabes Polri pada Maret 2008 kembali  mengadakan operasi dadakan dan berhasil  menangkap basah atas puluhan kapal yang penuh dengan muatan kayu ilegal ,  dari operasi itu, 24 orang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.  Di antaranya, 3  pemilik sawmill, 15 nahkoda kapal, 6 oknum dinas kehutanan, Dari unsur  kepolisian, 7 ditetapkan sebagai tersangka (3 dari Polres Ketapang, 4 dari  Polda Kalbar), di antaranya Kapolres Ketapang AKBP Akhmad Sun’an dan dicopot  dari jabatanya karena tersangka.

Sementara,  Kapolda Kalbar Brigjen Zainal Abidin Ishak dicopot dari jabatannya meski tetap  diperlakukan istimewa karena tidak turut menjadi tersangka.  Perwira tinggi itu hanya dinyatakan lalai  dalam menjalankan tugas dan pengawasan. Mabes Polri juga pasti enggan memerika  apakah para petinggi di Polda Kalbar menerima atau tidak menerima setoran dari  para mafia perambah hutan itu.

Fakta  dominannya unsur dendam dan rekayasa dalam perkara saya dapat dilihat jelas  dari proses pemeriksaan mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai dengan Mahkamah Agung, yang nyata-nyata terasa bahwa kasusnya dipaksakan untuk  dijadikan perkara.  Kenyataan lain, dalam  putusan pengadilan pertama sampai dengan MA pertimbangun hukum hakim banyak  kontroversi dan kontradiktif  antara yang  satu dengan yang lain.

Makanya,  dalam kasus PSDH-DR, pada 21 Oktober 2008, MA mengabulkan kasasi JPU, putusan  PN Ketapang dibatalkan, saya dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana  Korupsi.  Dan, MA merampas kemerdekaan saya selama empat tahun penjara dan pidana denda Rp200juta. Padahal, pasal 224  KUHAP tegas menyatakan bahwa putusan Bebas tak bisa di kasasi.  Tapi hal itu diterima MA.

Tak  cukup dengan itu, perkara kedua yang ditimpakan kepada saya adalah kasus illegal logging terhadap objek kayu yang sudah disidangkan pada perkara terpisah yang lebih dulu. Perkara itu adalah Perkara yang berdiri sendiri , terpidananya sudah jelas dan putusannya pun inkrach, (terpidana tidak di Ekskusi ). Meski begitu agar saya tetap berada dalam tahanan, maka dimajukanlah  kasus ini. Dan saya didakwa melanggar Pasal 50 ayat 3 huruf (f) Jo pasal 78 (5)  UU No.41 Tahun 1999 tentang Jehutanan Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana dengan  tuntutan 7 tahun kurungan penjara dan denda Rp20 juta subsidair enam bulan  kurungan.

Namun,  sekali lagi, karena targetnya menghukum saya dan membungkam saya, maka PN  Ketapang memvonis saya 10 bulan penjara tanpa harus menjalani hukumannya  (sebelumnya dituntut JPU 7 tahun penjara).  Di Tingkat PT Kalbar, vonis PN Ketapang itu dikuatkan.  Namun, jaksa tetap dan tidak puas atas hukuman itu dengan melakukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Tepat  sehari menjelang saya bebas dari dakwaan pertama, yaitu pada tanggal 30 Mei  2011 lalu, turunlah sebuah surat yang mengaku dari Mahkamah Agung. Saya dihukum  lagi selama 5 tahun penjara.

Putusan  Kasasi dari MA ini saya sangat merasakan banyak kejanggalannya. Pertama,  disebutkan saya residivis dengan Putusan kasasi MA pada tanggal  21 Oktober 2008 atas kasus PSDH-DR. Padahal,  pada halaman awal putusan MA ini menyebut saya ditahan sejak 27 Mei 2008.  Kejanggalan lainnya, dalam putusan disebutkan keputusan MA itu diambil pada  rapat permusyawaratan majelis MA pada tanggal 29 Nopember 2010 oleh M Hatta Ali  SH MH sebagai ketua majelis. Sayangnya, sampai tulisan ini dibuat (Minggu, 10  Juli 2010), website  www.mahkamahagung.go.id  masih menyebutkan bahwa kasus dengan perkara No.2280 K/Pid.Sus/2009 dinyatakan  masih dalam proses pemeriksaan J. Sementara saya sudah dieksekusi kembali  hanya  dengan surat fax 7 Jam  menjelang kebebasan saya pada tanggal 31 Mei  lalu.

Lebih  aneh lagi, tiga perkara saya yang dikirimkan ke MA (Kasasi kasus PSDH-DR, PK  Kasus PSDH-DR dan kasus illegal logging)  selalu ditangani hakim agung yang bernama  Hatta Ali SH MH.  Maka lengkaplah dugaan  saya, MA seolah-olah seperti dikuasi oleh kelompok tertentu yang juga bisa saja diorder untuk melegalisasi hukuman bagi saya.

*

Saya  hanya satu contoh orang kecil yang mencoba menggugat ketidakadilan dan
pelanggaran hukum. Dua pejabat tinggi semacam Komjen Susno Duaji dan mantan  anggota DPR RI, Agus Condro, juga dipenjara dengan kasus yang mirip-mirip  dengan saya. Membongkar praktek pelangaran hukum di negeri ini. Lalu, para  penegak hukum yang memiliki legalitas untuk menangkap, menahan, menyidang,  menuntut dan memenjarakan siapa saja yang mengganggu kepentingan mereka.

Menghukum  saya, lalu Komjen Susno Duaji dan Agus Condro, semakin memberikan gambaran  betapa kuatnya pelaku kejahatan yang dilakukan oleh oknum pejabat yang  diamanahi kekuasaan untuk menghukum orang lain. Seolah-olah mereka menyisipkan  pesan yang berbunyi; Jangan Coba-coba  jadi Wishtleblower.

Tapi,  yakinlah. Meski saya ditahan, penjara tak cukup ampuh membungkam saya. Dalam  keyakinan saya, akan banyak anak bangsa yang siap meledakkan ketidakadilan di  negeri ini. Salam juang dari dalam pengapnya penjara!***

Kapok Menyelundup dan Bisnis Ilegal Logging

Pontianak Post
Rabu, 06 Juli 2011 , 08:28:00
KAPAL MANTAN NAPI: KM Cahaya Borneo dikelola para mantan napi dan berhasil memberi penghidupan yang layak bagi ABK-nya.  HARYADI/PONTIANAK POST
    Seperti kapal-kapal angkut lainnya, fisik KM Cahaya Borneo tampak wajar.  Demikian pula dengan  kapten dan para anak buah kapalnya yang ramah.  Namun jika dirunut riwayatnya, kapal ini lekat dengan sejarah kelam  penebangan hutan ilegal dan penyelundupan kayu yang membabi buta di  tanah Borneo.Aristono Edi K, Pontianak

Betapa tidak, kapal kayu sebesar lapangan tenis tersebut dimiliki oleh  terpidana kasus illegal loging, Tony Wong. Kalau masih ingat, orang ini  sempat menjadi sorotan utama di sejumlah media massa nasional dan  internasional, tahun 2007 sampai 2008 silam. Gara-gara mulutnya,  sejumlah praktik pembalakan liar di Ketapang, Kalimantan Barat  terbongkar. Kasus besar yang melibatkan perwira-perwira kepolisian.Ujung-ujungnya, Tony sendiri dipenjara hingga sekarang dengan tuduhan  yang juga berkaitan dengan pembabatan hutan. Setali tiga uang, nahkoda  hingga ke para ABK-nya pun merupakan mantan Napi kasus illegal loging.  Setidak-tidaknya ini yang diceritakan Arif Rahman Hakim (34 tahun),  Kapten Kapal rute Pontianak-Ketapang ini.

Kapal ini mulai beroperasi dengan nama Cahaya Borneo sejak tanggal 3  Februari 2010. Sebelumnya bernama Bintang Teladan. Lalu kenapa namanya  berganti? “Cahaya Borneo itu ada artinya. ‘Borneo’ itu nama bilik tempat  kami dan Pak Tony Wong ditahan di Polres Ketapang. Kalau ‘cahaya’,  supaya bisa menuntun kami menjauh dari kegelapan,” ungkap Arif.Awalnya, kapal ini dikelola oleh empat alumnus bilik ‘Borneo’, selain  Arif, ada Made, Maman, dan Agus. Orang-orang ini satu sel dengan Tony  Wong di tahanan tersebut. Sebelumnya, mereka berempat tidak saling kenal  dengan Tony. Bahkan, menurut pengakuan Arif, kegiatan bisnis ilegal  mereka justru terusik karena aduan Tony. Namun di penjara mereka mulai  bergaul dengan Tony hingga menjadi sangat akrab. Arif kemudian ditawari  mengelola kapal tua Tony setelah bebas dari penjara.

“Saya dulu adalah supir Kapal Putra Pesaguan, yang mengangkut kayu-kayu  untuk diselundupkan ke Malaysia. Kawan-kawan (tiga orang lainnya) yang  lain pun sama, kasus kayu ilegal juga.Yang saya kesal, bos saya tidak  ditahan, kami yang kecil-kecil jadi korbannya. Dia juga sama sekali  tidak pernah menjenguk kami. Di situ kami kecewa,” ujar orang yang  ditangkap 3 April 2008 lalu ini.Tanggal 17 Agustus 2009, Arif mengakhiri masa tahanannya. Tiga teman  lainya bebas selang beberapa bulan kemudian, (sementara Tony dipindah ke  Lapas Pontianak, sekarang belum bebas). Mereka berempat memutuskan  menerima tawaran Tony, mengarungi lautan. Cahaya Borneo lalu dicat  hijau, melambangkan warna Pulau Kalimantan. Kapal ini bertugas  mengangkut barang-barang kebutuhan rumah tangga dari Pontianak ke  Ketapang. Sebaliknya, dari Ketapang, mereka membawa hasil-hasil alam ke  ibu kota Kalbar. Sekali jalan, mereka bisa mengangkut barang lebih 200  ton beratnya.

Sayang, tiga teman Arif lainnya memutuskan untuk keluar dan memilih  bekerja di darat. “Seakarang mereka sudah sukses di bidangnya  masing-masing. Saya bersyukur kapal ini mampu memberi batu loncatan yang  berarti buat mereka. Yang penting halal,” imbuh ayah dua anak ini. Sebagai informasi, Made beralih menjadi pengusaha arang dapur, Maman  jadi kepala buruh bangunan, sementara Agus memilih jadi supir. Keluar  tiga, masuk tujuh anggota baru. Uniknya, seperti sudah ditakdirkan,  awak-awak baru Cahaya Borneo pun berasal dari background penyelundup  kayu ilegal. “Mereka ini menelepon saya. Mau berhenti main  selundup-selundupan katanya. Mungkin kapal ini kena kutuk, isinya mantan  penyelundup semua” sebut Arif, bercanda.

Masih terlibat bisnis haram? “Tidak lagi, sudah kapok saya. Kita usaha  yang jujur saja, sedikit uangnya tapi bahagia. Buat apa kaya, tapi hati  tidak tentram. Lagi pula saya masih percaya ungkapan yang mengatakan  orang miskin dilarang main-main dengan hukum,” selorohnya.Soal fulus (uang), Arif mengatakan penghasilannya tiap bulan mampu  menghidupi istri dan anak-anaknya. “Dulu waktu BBM belum naik, kami  banyak dapat (uang). Sekarang, lumayanlah, sebulan saya dapat lima  sampai enam juta (rupiah). Kalau ABK, dua setengah sampai tiga juta  (rupiah). Bisa dapat segini karena kami sama sekali tidak menyetor ke  yang punya kapal. Dianya tak mau,” tutur Arif. (*)

Tony Wong Inginkan Keadilan

 Kamis, 15 April 2010 , 08:17:00 (PONTIANAK POST)

Tony Wong Inginkan Keadilan

Penunggak PSDH-DR Dihukum, Pelaku Ilog Belum Terungkap

JAKARTA–Kuasa Hukum Tony Wong, Gamal Muaddi berharap majelis hakim peninjauan kembali (PK) memperkuat putusan PN Ketapang yang telah memvonis bebas kliennya.“Putusan majelis hakim PN Ketapang sangat tepat sekali,” kata Gamal Muaddi kepada Pontianak Post kemarin di Jakarta. Tony Wong diajukan ke PN Ketapang karena menunggak pembayaran Pemanfaatan Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), sehingga didakwa melakukan tindak pidana korupsi.

Majelis hakim PN Ketapang dalam putusan tanggal 26 Mei 2008 Nomor 201/pid.b/2007/PN.KTP menyatakan Tony Wong tidak bersalah dan membebaskan terdakwa dari dakwaan.Kemudian JPU pada Kejaksaan Negeri Ketapang melakukan Permohonan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Majelis hakim MA tanggal 21 Oktober 2008 memutuskan mengabulkan permohonan Kasasi JPU. Artinya membatalkan putusan PN Ketapang dan menyatakan terdakwa telah terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi.

Menurut Gamal, pengajuan PK didasari putusan kasasi dengan jelas memperlihatkan suatu kehilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Hakim putusan kasasi secara jelas melanggar asas legalitas dan asas hukum lex specialis derogat lex generalis atau aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum sebagaimana dimaksud Pasal 63 ayat (2) KUHP, yaitu dalam bentuk tentang unsur perbuatan melawan hukum merupakan bagian inti (Bestandeel) tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) UU PTPK (yang bersifat Umum/lex generalis) dengan Pasal 35 UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (lex spesialis), yang nota bene Pasal 35 UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan tersebut hanya merupakan ketentuan normatif yang bersifat mengatur saja tanpa dan tidak mengandung sanksi hukum serta bukan dan tidak merupakan atau termasuk ketentuan yang ditentukan sebagai tindak pidana atau tindak pidana kehutanan dan diancam dengan sanksi. Sedangkan sanksi pidana di dalam UU Kehutanan terdapat di dalam Pasal 78 UU Kehutanan.

”Sedangkan dalam kasus Tony Wong tidak terbukti adanya kerugian keuangan negara sebagai salah satu unsur korupsi. Karena ini perkara utang PSDH dan DR berdasarkan UU Kehutanan,”’ tambahnya.

Dikatakan Gamal, kalau memang penunggak PSDH dan DR dipenjarakan, banyak penunggak PSDH DR di negara ini yang belum bayar, tetapi mengapa hanya Tony Wong saja yang dihukum. “Tony Wong yang dihukum 4 tahun karena utang PSDH DR kepada Dinas Kehutanan (Negara dalam hal ini), dimanakah keadilan untuk Tony Wong atau semua penunggak PSDH DR harus dihukum seperti Tony Wong,” jelasnya.

Padahal pembalak illegal logging yang sebenarnya sampai saat ini belum tertangkap, justru yang mengungkapkan illegal logging dihukum. Pihaknya berharap kepada majelis hakim PK bisa memutuskan perkara ini secara adil dan bijak serta mempertimbangkan Toni Wong sebagai salah seorang yang membuka praktek illegal logging di Indonesia dan sudah sepantasnya mendapat perlakuan hukum dari aparat penegak hukum. Tony Wong, lanjutnya, saat ini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Pontianak. Dirinya mendekam di penjara sejak 8 Mei 2007. Maka dari itu dari PK yang telah diajukan sekitar Mei 2009 lalu, sampai sekarang masih dipelajari. ”Tentunya kita juga tetap harus melihat aspek Hak Asazi Manusia dari terdakwa. Kami telah berulang kali menanyakan itu, tetapi masih dipelajari,” katanya.(oji)

Toni Wong dan Susno Duaji Sang Peniup Pluit

PONTIANAK POST

Senin, 12 April 2010

Oleh : Sarluhut Napitupulu

KISAH moralnya sama : si peniup pluit atau whistleblower. Namum nasibnya beda. Itulah yang dialami Komjen Susno Dauji dan Toni Wong. Dirut PT Glora Indonesia. Susno dikenal sebagai whistleblower kasus mafia pajak Gayus Tambunan, yang mengguncang institusi Polri, Kejagung dan Ditjen Pajak, nasibnya bak pahlawan. Terwacanakan menjadi Ketua KPK atau Kapolri.

Sedang Toni whistleblower kasus illegal logging di Ketapang, Kalimantan Barat, mengguncang institusi Polda Kalbar dan Polres Ketapang, nasibnya buruk.  Inilah kasihnya:  Awal Maret 2007, Tony meniup pluit ke Mabes Polri melaporkan kegiatan mafia illegal logging di wilayah Ketapang.  Tim Mabes Polri dipimpin Kabareskrim Komjen Bambang Hendarso Danuri, turun ke TKP Bukit Lawang tanpa “kulonuwan” kepada Polda Kalbar dan Polres Ketapang.

Singkat cerita, sindikat mafia illegal logging tersebut berhasil digulung.  24 orang ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.  Diantaranya, 3 pemilik sawmill, 15 nahkoda kapal, 6 oknum dinas kehutanan, Dari unsur kepolisian, 7 ditetapkan sebagai tersangka (3 dari Polres Ketapang, 4 dari Polda Kalbar), diantaranya Kapolres Ketapang AKBP Akhmad Sunan dan dicopot dari jabatanya karena tersangka. Kapolda Kalbar Brigjen Zainal Abidin Ishak dicopot dari jabatanya namun tidak tersangka.  Ia dinyatakan lengah dalam menjalankan tugas dan pengawasan.

Prestasi ini tentu membuat geger.  Sampai-sampai Kapolri Jenderal Pol Sutanto, 3 April 2007, bersama Menteri Kehutanan didampingi Irwasum Polri Komjen Jusuf Manggabarani, Kababinkum Komjen Imam Haryatna, Deops Polri Irjen Rubani Pranoto, Kadiv Humas Polri Irjen Pol R Abubakar Nataprawire, Kadiv Propam Irjn Pol Gordon Mogot, turun langsung meninjau ke TKP, memberi apresiasi.

Dengan prestasi ini, mestinya Toni mendapat pengargaan. Tapi, sungguh beda.  Sebulan kemudian, pada 7 Mei 2007, Toni ditangkap oleh Resmob Polda Kalbar di Bandara Soekarno Hatta Jakarta, dituduh korupsi PSDH-DR.  Saat penangkapan sempat tegang.  Pihak Mabes minta Toni ditahan di Mabes Polri.  Pihak Polda Kalbar ngotot membawa Toni ke Kalbar.

Akhirnya Toni ditahan dan dititipkan di Rutan Mabes Polri. Namun, pada 15 Mei 2007, Toni dipindahkan ke Rutan Polda Kalbar di Ponitanak dan pindah LP Ketapang.  Selanjutnya menjalani proses hukum.  Pada 26 Mei 2008, PN Ketapang memvonis Toni bebas murni dari dakwaan, karena dakwaan JPU terkait tuduhan korupsi PSDH-DR adalah urusan Perdata. Tapi, Toni tak sedetikpun menghirup udara bebas.  Tiga jam setelah PN Ketapang memvonis bebas, Toni ditangkap Polres Ketapang dengan tuduhan illegal logging. Dan drama penangkapan Toni yang kedua kembali terjadi bak menangkap teroris.

Sampai disini, sudah dua tuduhan yang menjerat Toni.  Nah, Gamal Muaddi, salah satu kuasa hukum Toni, mendergar bahwa tiga tuduhan lagi telah disiapkan untuk menjerat Toni pasca dua tuduhan tersebut selesai.  Yakni, tuduhan terkait Money laundering, tindak pidana ekonomi, dan korupsi.  Maka, dengan lima tuduhan yang akan menjeratnya, nasib Toni dipastikan akan terus menerus berada di LP.  Dendamkah motifnya?

Gamal yakin unsur dendam dalam kasus kliennya dominan setelah berkaca dari proses pemeriksaan mulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan sampai dengan mahkamah agung, yang nyata-nyata terasa bahwa kasusnya dipaksakan untuk dijadikan perkara.  Kenyataan lain, dalam putusan pengadilan pertama sampai dengan MA pertimbangun hukum hakim banyak kontroversi dan kontradiktif antara yang satu dengan yang lain.

 Lihatlan, dalam kasus PSDH-DR, pada 21 Oktober 2008, MA mengabulkan kasasi JPU, putusan PN Ketapang dibatalkan, Toni dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana Korupsi.  Untuk itu, MA memvonis Toni empat tahun penjara dan pidana denda Rp200juta. Padahal, pasal 224 KUHAP tegas menyatakan bahwa putusan Bebas tak bisa di kasasi.  Tapi hal itu diterima MA.  Lalu disandingkannya UU No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan UUPemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk menghukum Toni juga sebuah penerapan yang kurang cermat dan melanggar asas lex spesialis derogate lex general.  Itu sebabnya, Toni melalui Gamal pada 11 Mei 2009 mengajukan PK (Peninjauan Kembali).  Namun, hampir setahun PK belum juga diputus.

Kontroversi dan kontradiktif juga muncul dalam kasus illegal logging Toni.  PN Ketapang memvonis Toni 10 bulan penjara tanpa harus menjalani hukumannya (sebelumnya dituntut JPU 7 tahun penjara).  Di Tinkat PT Kalbar, vonis PN Ketapang itu dikuatkan.  Lalu JPU kasasi ke MA yang sampai kini belum diperiksa.

Maka, selain PK, Gamal mengadukan perihal kontroversi dan kontradiktif itu kepada Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Presiden dan petinggi penegak hukum di negeri ini. Supaya nasib yang dialami Toni tidak harus seperti itu,  Toni sudah sepantasnya mendapatkan perlakuan yang adil dare pemerintah dan aparat penegak hukum di negeri ini.

Toni yang selama dua tahun lebih menghuni LP Ketapang, secare mendadak pada 6 Agustus 2009, dipindah ke LP Sui Raya Pontianak – berjarak 360 kilometer.  Pemindahan itu factor keamanan, pasca masuknya tiga perwira polisi ke LP Ketapang utuk menjalan hukuman setelah dijatuhi vonis.  Yakni, mantan Kopolres Ketapang AKBP Akhmad Sun’an, mantan Kasat Reskrim Polres Ketapang AKP M Kadhapy Marpaung dan mantan Kapos Polair Ketapng Iptu Agus Lutfiardi. Ketika perwira polisi itu dihukum hasil tiupan pluit Toni.

Bagi seorang peniup pluit, butuh nyali baja.  Karena, jangankan perlingungan hukum, atau insentif karena mengungkap kerugian negara, alih-alih justru dikuyo-kuto.  Mudah-mudahan tidak mengecilkan tekad Toni untuk selalu berkata benar.  (Penulis Pemerhati Hukum)

Dari Rutan ke Tahanan Kota

Ditulis oleh Andry Jumat, 4 September 2009

Tiga mantan unsur pimpinan DPRD Ketapang periode 1999-2004 yang kini mendekam di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) IIb Ketapang sejak 31 Agustus 2009 seolah tak perlu berlama-lama menghirup pekatnya udara penjara.

Pasalnya, Pengadilan Tinggi Pontianak mengabulkan permohonan kuasa hukum ketiganya. Sehingga, status penahanan mereka berubah dari tahanan rutan menjadi tahanan kota.

“Pengadilan Tinggi Pontianak memerintahkan, menetapkan, mengabulkan permohonan pemohon Indra Pahlawan dan Erni Sutrisni selaku penasehat hukum Sugiarto Husin dan H Hamdi H. A Rani. Mengalihkan penahanan atas diri terdakwa dari tahanan rutan menjadi tahanan kota. Memerintahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari rumah tahanan Negara,” ungkap Kepala Seksi (Kasi) Pidana Umum (Pidum) Abdul Farid di ruang kerjanya, Kamis (3/9).

Pengadilan Tinggi Pontianak dengan surat penetapan nomor: 07/Penpid/2009/Pengadilan Tinggi Pontianak, dikeluarkan tanggal 2 September 2009 ditandatangani Ketua Pengadilan Tinggi Pontianak, Ida Bagus Ngurah Sonya.

Kabar gembira itu juga dirasakan terdakwa Razali Achmad. Status penahanan dirinya juga telah berubah. Dari tahanan rutan menjadi tahanan kota. “Ini baru kami terima sekitar pukul 10.45 Wib. Ketiga tersangka akan segera kami keluarkan dari rumah tahanan. Ya, sekitar pukul tiga sorelah, seusai kami melakukan persidangan,” katanya.

Setelah dikeluarkan dari rutan, Farid mengatakan, ketiga terdakwa akan diserahkan kepada keluarga mereka. “Karena berstatus tahanan kota, maka ketiga terdakwa tidak diperkenankan keluar dari Kota Ketapang. Kami akan pantau terus. Kalau melanggar, kita akan sampaikan hal tersebut kepada pengadilan, sehingga terdakwa ditahan ke dalam rutan kembali, karena tidak mengindahkan penetapan dari pengadilan,” katanya.

Untuk diketahui bahwa ketiga tersangka tersangkut dugaan korupsi APBD 2004 Pemkab Ketapang sebesar Rp3,1 miliar. Dari PN Ketapang, ketiga terdakwa divonis selama satu tahun penjara, denda Rp50 juta, subsider satu bulan kurungan. “Namun mereka mengajukan banding,” jelasnya. Selama proses banding, ketiga terdakwa tidak mengalami proses penahanan. Hal tersebut dikarenakan tidak ada perintah dari pengadilan untuk dilakukan proses penahanan terhadap ketiganya. Sebelumnya, Kejari Ketapang telah melakukan eksekusi terhadap terdakwa kasus korupsi dan menyeret tiganya ke Lapas IIb Ketapang, Senin (31/8) lalu.

Perwira Tersangkut Pembalakan Liar Ketapang Dapat Remisi

(BORNEO TRIBUNE)

Ditulis oleh Antara    Rabu, 19 Agustus 2009

Perwira Tersangkut Pembalakan Liar Ketapang Dapat Remisi

Tiga perwira yang tersangkut kasus pembalakan liar di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, mendapatkan remisi dua bulan berkaitan dengan peringatan hari kemerdekaan RI.

Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Ketapang, Indra M Sofyan, di Ketapang, Selasa, mengatakan ketiga orang tersebut yakni, Akhmad Sun`an, Khadapy Marpaung dan Agus Lutfiardi.

“Ketiganya mendapatkan remisi selama dua bulan,” katanya.

Menurut ia, ketiga orang itu baru sekitar tiga minggu menempati lapas, namun sudah menjalani dua pertiga dari masa tahanan selama dua tahun.

Selain itu, selama menjalani penahanan, ketiga perwira itu berkelakuan baik dan menjadi panutan bagi narapidana lainnya.

Akhmad Sun`an, Khadapy Marpaung, dan Agus Lutfiardi, merupakan tiga perwira dari Kepolisian Resort Ketapang yang tersangkut kasus pembalakan liar.

Akhmad Sun`an terakhir berpangkat Ajun Komisaris Besar Polisi, mantan Kepala Polres setempat. Jabatan terakhir sebelum menjadi tahanan Lapas Ketapang sebagai Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan (Kabid Propam) Polda Kalimantan Selatan.

Khadapy Marpaung berpangkat Ajun Komisaris Polisi adalah mantan Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Ketapang, dan Agus Lutfiardi berpangkat Inspektur Satu dengan jabatan terakhir sebagai Kepala Pos Polisi Perairan Polres Ketapang.

Ketiga orang tersebut dijerat UU No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan pasal 55 serta 56 KUHP tentang Ikut serta dalam tindak pidana.

Mereka dianggap telah melakukan pembiaran dan tidak berbuat apa-apa saat terjadi pembalakan liar di daerah tersebut pada 2008 lalu.

Selain ketiga orang tersebut, remisi juga diberikan kepada 81 narapidana lainnya. Sebanyak tujuh narapidana mendapatkan remisi langsung bebas.

Menurut Kepala Pengadilan Negeri Ketapang, Bestman Simarmata, narapidana yang sudah menjalani dua pertiga masa tahanan dan berkelakuan baik, berhak mendapatkan remisi.

“Remisi adalah hak semua Napi. Namun tidak semua Napi mendapatkan remisi. Napi yang dapat remisi dari Presiden harus benar-benar berkelakuan baik selama masa pembinaan di Lapas. Kita hanya mengapresiasi apa yang sudah menjadihak mereka,” katanya.

 

Tony Wong Dipindah ke Lapas Pontianak

Ditulis oleh Andry dan Suhartiman Jumat, 7 Agustus 2009

Tony Wong yang selama ini ditahan di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Kelas IIb Ketapang, kini dipindahkan secara tiba-tiba ke Lapas Kelas IIa Pontianak, Kamis (6/8) pagi.

Tony Wong yang divonis empat tahun penjara oleh Mahkamah Agung tahun ini, sudah menjalani masa hukuman dua tahun lebih di Lapas Ketapang.

Ditanyakan kepada Kalapas Kelas IIb apakah pemindahan Tony Wong ke Lapas Kelas IIa Pontianak, lantaran kini Lapas Kelas IIb Ketapang juga sebagai tempat mendekamnya mantan Kapolres AKBP. Akhmad Sun’an, beserta dua orang mantan anak buahnya. Yakni, mantan Kasat Reskrim Polres Ketapang AKP. M Kadhapy Marpaung, dan mantan Kapos Polair Ketapang Iptu. Agus Lutfiardi?

Secara tegas Kalapas Kelas IIb Ketapang membantah bahwa, hal itu tidak berhubungan sama sekali. “Pemindahan tahanan ini hanya penyegaran saja,” bantahnya.

Sementara itu, Kepala Lapas (Kalapas) Pontianak, Agus Djokohardono ketika ditanya mengenai alasan pemindahkan Tony Wong dari Lapas Ketapang ke Pontianak menjawab, pemindahan narapidana adalah peristiwa biasa dan tidak ada yang aneh-aneh.  “Secara umum tidak ada hal yang mustahil,” katanya.

Pemindahan yang dilakukan adalah biasa saja. Narapidana bisa dipidana di mana saja. Kalau sisa hukuman lebih dari satu tahun, narapidana biasanya akan dikirim ke Lapas Provinsi, kata Agus ketika ditemui di ruang kerjanya.

“Jadi pada prinsipnya narapidana dipindahkan ke Lapas manapun tidak masalah, tapi harus ada dasar-dasarnya, mungkin faktor pembinaan,” katanya.

Disamping alasan pembinaan, Agus menyatakan bahwa, pemindahan juga biasa dilakukan dalam rangka pengamanan. “Dari segi pengamanan, janganlah dalam satu rumah itu ada lawan-lawannya,” kata Agus.

Namun, menurut kuasa hukum Tony Wong, Rr. Dewi Aripurnamawati, SH., dari Kantor Advokat W. Suwito, SH & Associates, melihat ada aroma tidak sedap dari proses pemindahan itu. “Bolehlah pihak Lapas memberikan dasar pemindahan dengan alasan pembinaan, namun itu tidak dilakukan dengan prosedur yang benar,” kata Dewi.

Menurutnya, kalau pemindahan aturannya tidak jelas, hal itu berarti sesuatu yang illegal, dan melanggar hak asasi kliennya. Perbuatan yang illegal yang dilegalkan. Ia menyesalkan pemindahan tanpa melalui prosesdur yang benar.

Dewi sangat menghormati protap maupun dasar yang dijadikan alasan oleh Kalapas, untuk memindahkan kliennya itu. Namun, ia sangat menyesalkan, jika pemindahan itu dilakukan untuk menekan seseorang.

“Apalagi melakukannya atas nama jabatan maupun pekerjaan. Kalau memang pemindahan dilakukan dengan dasar pembinaan, harus dilakukan dengan prosedur yang benar,” kata Dewi.

Jika ada kebijakan bahwa napi yang sudah tinggal satu tahun harus tinggal di ibukota provinsi, semua harus dilakukan untuk semua napi di Kalimantan Barat, tanpa kecuali. Kalau sudah membeda-bedakan, berarti ada tindakan diskriminasi. Kalau ada aturan atau prosedur, ia mempersilakan dijalankan pemindahan itu. Tapi, paling tidak pasti harus ada surat.

Dewi menyesalkan, karena dalam pemindahan tersebut, tidak ada surat-surat pemberitahuan yang diserahkan kepada pihak keluarga, maupun kepada kuasa hukum.

Dewi menyesalkan pemindahan itu dilakukan berdasarkan perintah. Namun, ketika diminta bukti perintah itu, tak sepucuk surat pun dilihatkan Lapas Ketapang.

“Ketika saya tanyakan mana surat perintahnya, dijawab lisan lewat telepon dari Kadispas,” kata Dewi.

TW Dipindahkan ke Lapas IIA KKR

Jum’at, 07 Agustus 2009 , 13:40:00

Sungai Raya. Terdakwa kasus Illegal Logging (IL), Tony Wong (TW) dipindahkan dari Lapas kelas IIB Ketapang ke Lapas IIA KKR, Kamis (7/8) kemarin. Perpindahan yang dilakukan oleh pihak kejaksaan ini terkesan mendadak dan tanpa pemberitahuan kepada terdakwa. TW dipindahkan ke KKR dari Ketapang dengan menggunakan pesawat Kal Star Flight, penerbangan pertama.

Dari keterangan yang berhasil dihimpun Equator dari pihak Bandara Supadio, pesawat Kal Star tersebut terbang dari Bandara Rahadi Oesman, Ketapang pukul 07.45. Pesawat kemudian mendarat di Bandara Supadio KKR, sekitar pukul 08.15 wib. Sesampainya di bandara, rombongan petugas polisi bersenjata lengkap dan Polpus Lapas tampak mengawal ketat TW.

Dari kejauhan, wartawan yang hadir di sana tidak dapat melihat begitu jelas. Dua bis PT Angkasapura yang biasanya menjemput penumpang dari pesawat sempat mengecoh para wartawan. Sepertinya hal tersebut telah diatur sedemikian rupa, menandakan pengawalan ketat memang sengaja diberlakukan untuk TW.

Dari pantauan Equator, ketika keluar dari ruang kedatangan TW mengenakan kaus berkerah berwarna cokelat dengan balutan jaket biru dan setelan celana kain berwarna cokelat. Sosok pria jangkung berkulit putih tersebut juga hanya mengenakan sandal tanpa sepatu. Tampak jelas kalau pemindahan TW sepertinya tergesa-gesa tanpa adanya persiapan. Dengan sebatang rokok di bibirnya, dia tampak santai meski dikawal ketat petugas dan menjadi perhatian banyak orang.

Kepala Divisi Pemasyarakatan Kanwil Hukum dan Ham Kalbar, Djoko Hikmahadi mengaku perpindahan tersebut memang sengaja tidak diberitahukan kepada yang bersangkutan atau pun Kuasa Hukumnya. “Ketentuannya bisa itu dikarenakan permohonan yang bersangkutan atau bisa juga dengan berbagai pertimbangan salah satunya keamanan. Jadi tidak harus diberitahukan,” jelas Djoko yang merujuk Gunawan Santoso yang dipindahkan dari LP Cipinang ke Nusakambangan tanpa pemberitahuan. Djoko juga menjelaskan, dipindahkannya TW, juga untuk faktor keamanan pasca masuknya tiga perwira polisi ke Lapas Kelas IIB Ketapang.

“Laporan dari Kalapas berdasarkan pantauan intel kita di dalam, situasi di Lapas memanas. Jadi daripada terjadi sesuatu yang tidak tahu kapan waktunya, lebih baik kita antisipasi dari sekarang,” paparnya. Djoko juga tidak membantah kalau perpindahan itu dikarenakan adanya indikasi TW yang memprovokasi aksi mogok makan narapidana lainnya, sehingga menyebabkan anggota Komnas HAM pusat datang ke Ketapang. Dia juga membantah tidak ada pesanan khusus dari pihak ketiga. “Jadi perpindahan tetap kita koordinasi dengan Polres, Polda dan Kejaksaan serta Pengadilan.

Saat ini penjagaan di Lapas Kelas IIB Ketapang diperketat. Pihak Lapas meminta bantuan keamanan dengan Polres Ketapang secara tertutup,” tutur Djoko. Meski hanya bisa berdialog sejenak, namun dari pengakuannya, TW tidak menikmati penerbangannya selama 30 menit dari Ketapang ke KKR. Dari raut wajahnya kelihatan TW penasaran dan marah. Lantaran perpindahan dirinya dari Lapas Kelas IIB Ketapang ke Lapas Kelas IIA Pontianak Sui Raya tidak ada pemberitahuan dan terkesan mendadak.

“Saya tidak diberitahu mau dipindahkan. Tiba-tiba tadi pagi (kemarin, red) saya langsung dibawa ke bandara. Ada apa ini?  Saya akan complain,” kesal Tony Wong. Kepada wartawan Tony Wong menyatakan akan mengajukan protes. Menurutnya jelas perlakuan yang didapatnya telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Semestinya, dirinya berhak diberitahu sebelum dilakukan perpindahan.( ROx)

Khadaphy dan Agus Kembali Disel, Sun’an Menyusul

Diposkan oleh GO TO FLY di 00:10

Ketapang, BERKAT
Setelah sekian lama menunggu, akhirnya surat Keputusan Penahanan dari Mahkamah Agung RI terhadap AKP Khadaphy Marpaung dan IPTU Agus Lutfiandi telah turun.

Kejaksaan Negeri Ketapang selaku eksekutor pun kembali melakukan penahanan terhadap dua mantan perwira Polres Ketapang yang terlibat dalam kasus illegal logging itu.

Keduanya pun pada Rabu (29/7) kemarin akhirnya kembali dijebloskan ke tahanan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Ketapang. Setelah sebelumnya sempat bebas sekian lama.

“Memang benar ditahan lagi. Keduanya masuk Lapas tadi pagi,” kata Supriatna salah seorang pegawai Lapas Kelas II B Ketapang, kemarin.

Lantas bagaimana kelanjutan proses hukum AKBP Ahmad Sun’an, mantan Kapolres Ketapang yang juga terlibat dalam kasus illegal logging tangkapan tim Mabes Polri tahun lalu itu.

“Kabarnya Pak Sun’an mungkin tidak lama lagi menyusul (kembali ditahan,red),” tambah Supriatna.

AKP Kadhapy Marpaung mantan Kasat Reskrim Polres Ketapang, IPTU Agus Lutfiandi mantan mantan Kapospol serta mantan Kapolres Ketapang AKBP Ahmad Sun,an ditangkap tim Mabes Polri sejak 10 April 2008 lalu di Polres Ketapang.

Ketiga mantan pejabat Polres Ketapang ini sempat ditahan, namun belakangan bebas di Pengadilan Tinggi Kalbar, namun JPU melakukan kasasi ke Mahakamah Agung.

Sementara Budi Arif dari Lembaga Pemerhati Lingkungan Hijau Kalbar memberikan apresiasi terhadap ditahannya kembali ketiga mantan pejabat Polres Ketapang tersebut. Namun, dia cukup heran lantaran baru sekarang eksekusi dilakukan oleh kejaksaan. “Padahal surat perintah penahanan dari MA sudah beberapa bulan lalu. Tapi kenapa JPU tidak melakukan eksekusi, kan lucu, ” kata ungkap Budi.

Budi juga menyesalkan hampir sebagian besar pelaku utama illegal logging tangkapan tim Mabes Polri itu dihukum ringan. Bahkan status hukumannya tahanan kota. Artinya mereka tidak pernah menginap dibalik jeruji. Ironinya lagi mereka berkeliaran terang-terangan di muka umum dan tidak tersentuh hukum.

“Justru yang masih ditahan di Lapas, hanyalah para nakhoda dan juragan motor saja,” ungkapnya.

Merasa mendapat perlakuan hukum yang tidak adil itu, beberapa waktu lalu, para nakhoda dan juragan motor melakukan aksi mogok makan di dalam Lapas. Beberapa di antaranya hingga harus mendapatkan perawatan intesif seperti Aweng.

Perlakuan hukum berbeda yang sangat menyolok, terlihat dari bebasnya sekitar 12 pelaku utama illegal logging. Mestinya mereka masih mendekam di Lapas Kelas IIB Ketapang karena putusan Pengadilan Negeri Ketapang sudah jelas mereka divonis bersalah dengan hukuman paling sedikit 10 bulan dan maksimal 1,6 tahun penjara.

Apalagi ke-12 orang tersebut maupun JPU mengajukan banding atau kasasi baik ke PT Kalbar maupun MA, tetapi putusannya tidak pernah dijalankan.

Ke-12 orang itu antara lain Issiat (pemilik kayu), Wijaya (koordinator dokumen dan dana taktis), Darwis (pemilik kayu dan sawmill PO Kayu Bertuah), Stefanus Chandra (Pemilik sawmil Maranatha), Adi Murdiani (penyewa sawmill Maranatha sekaligus koordinator dana taktis), Freddy Lee (pemilik sawmill CV Rimba Ramin), Dol Solben alias Abdul Jobar (pemilik sawmill Karya Bersama), AKBP A Sun’an (mantan Kapolres), AKP Khadaphy Marpaung (mantan Kasat Reskrim), Iptu Agus Lufiandi (mantan Kapospol), Syaiufl (mantan Kadishut Ketapang) dan Nur Fadri (Ketua tim stok opname Dishut Ktp).

Saat ini yang tersisa di Lapas Kelas IIB Ketapang hanyalah Aweng dan Tony Wong. Bahkan pelaku yang menjadi DPO tim Mabes Polri pun tak pernah tertangkap hingga kini. Padahal mereka berlenggang kangkung menghirup udara segar di Ketapang, bahkan masih bermain kayu dalam skala konteiner seperti Iin Soluna dan H. Marhali bos kayu Telok Batang.

Terhadap pelaku utama yang menjadi DPO Mabes Polri, Kapolda Kalbar, Brigjen Pol Drs. Erwin TPL Tobing saat silaturahmi dengan wartawan berjanji akan menindak lanjutinya.

“Saya akan lihat lagi. Siapa-siapa yang menjadi DPO Mabes. Kalau memang masih ada yang berkeliaran. Kita akan tangkap,” janji Kapolda. (rob)

 

Mogok Makan Ala Napi

Rabu, 15 Juli 2009 , 15:24:00 – EQUATOR POST

Cerita mogok makan biasanya dilakukan mahasiswa yang melakukan protes atas kebijakan pemerintah. Ternyata, tradisi mogok makan juga merebak ke kalangan narapidana. Sebagai bukti, seperti ditunjukkan Wengky Suwandi alias Aweng, 43 penghuni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II B Ketapang. Dia melakukan mogok makan karena tak terima putusan pidana 1,6 tahun penjara dakwaan kasus illegal logging.

Namun, ada alasan lain yang menyebabkan Aweng harus melakukan tindakan nekat itu. Dia merasa diperlakukan tidak adil. Sebab, banyak aktor illegal logging diperlakukan spesial. Dia tidak terima perlakuan tidak adil itu, lalu dia nekat untuk tidak makan selama di Lapas. Terlepas benar atau tidak alasan Aweng itu, yang jelas apa yang dilakukannya mengindikasikan ada ketidakberesan dalam proses hukum IL itu.

Ada orang sengaja mempermainkan kasus itu untuk mencari kekayaan. Cuma, apakah aparat hukum atau ada tidak pihak lain masih kabur. Aweng mencium bahkan merasakan ketidakberesan proses hukum terhadap dia dan kawan-kawannya. Sudah bukan rahasia lagi, memproses kasus IL beda dengan kasus curi ayam. Kalau kasus curi ayam, tak ada duitnya.

Sementara IL bisa bergelimang dengan uang. Jangan heran apabila kasus IL banyak kepentingan di dalamnya. Aparat hukum bisa saja bermain hanya untuk mendapatkan keuntungan. Atau ada pihak di luar itu mencoba mempengaruhi aparat hukum dengan berbagai iming-iming materi. Banyak pihak akan bermain dalam kasus itu.

Di sinilah perlu dituntut kejujuran aparat hukum. Jika memang benar menegakkan aturan, semua pihak terlihat IL harus diperlakukan adil, tidak ada perbedaan. Apabila tidak ada keadilan, kasus mogok makan itu akan berlanjut, dan sulit ditutupi. Kita mengharapkan, aparat hukum di atasnya, melakukan investigasi terhadap kasus itu. Hanya dengan cara itu, bisa mengetahui apa sebenarnya yang terjadi di Lapas Ketapang itu.*

  

Tahanan IL Ketapang Tuntut Keadilan Hukum

15 Juli 2009, 20:20:12 | noreply@blogger.com (GO TO FLY)

Ketapang, BERKAT.
Sejumlah tahanan illegal logging (IL) yang mendekam di Lapas Kelas IIB Ketapang menuntut keadilan hukum. Mereka menilai aparat penegak hukum tidak konsisten dalam menjalankan supremasi hukum. Ada perbedaan yang diberikan dalam kasus illegal logging tangkapan tim Mabes Polri 2008 silam itu.

Aksi mogok makan pun dilakukan oleh 7 orang tahanan yang masih mendekam di Lapas Kelas IIB Ketapang. Aksi sebagai wujud protes tersebut dilakukan sejak tanggal 1 Juli 2009 lalu. Dari 7 orang itu, 2 di antaranya Susanto dan Aweng masih terus berlanjut. Hingga salah satunya yakni Wengky Swandi alias Aweng terpaksa harus mendapatkan perawatan intensif. Tubuhnya dipasang selang infus selama tiga hari.

Kepala Lapas Kelas IIB Ketapang, Indra Sofyan membenarkan aksi mogok makan tersebut.
“Intinya mereka lakukan itu karena merasa mendapatkan perbedaaan hukum. Saya langsung koordinasi dengan kejaksaan. Pihak Kejari bilang bahwa itu merupakan tahanan Mahkamah Agung. Jadi kalau mau wawancara coba minta izin dulu ke pengadilan,” tutur Indra kepada wartawan kemarin.

Sementara Humas Pengadilan Negeri Ketapang, Santonius Tambunan menyatakan pihaknya dalam memberikan keputusan sudah obyektif dan transparan.

“Jadi masalah adil atau tidak adil perlakuan hukum yang diterima, itu subyektif mereka saja,” ujarnya.

Untuk kasus Aweng ia katakan ada dua kasus. Kasus pertama telah divonis 1 tahun 6 bulan karena melanggar pasal 50 ayat 3 huruf f jo pasal 78 ayat 5. Akan putusan tersebut, terdakwa ajukan banding dan dikuatkan PT. Akan tetapi JPU mengajukan kasasi ke MA. Dalam proses pengajuan tersebut, masuk perkara baru lagi.

Dalam kasus kedua yakni pada tahap putusan. Aweng dituduh melanggar pasal 50 ayat 3 huruf h jo pasal 78 ayat 7 UU Kehutanan nomor 41/1999.

“Dalam kasus kedua sudah tiga kali penundaan. JPU diminta hadirkan terdakwa tapi bisa dengan alasan sakit. Seharusnya tidak ditahan. Jadi kalau melihat dari kasus pertama bukan tahanan kami. Sedangkan kasus ketiga dalam proses SPDP,” kata Santonius.

 Dari sekitar 40 orang tahanan illog yang masih tersisa di Lapas Kelas IIB, wartawan hanya diizinkan mewawancarai Aweng yang awalnya disebutkan Kalapas dalam perawatan di klinik setelah mendapatkan izin dari PN Ketapang.

Dalam kondisi lemah, Aweng dibawa ke ruang Kalapas oleh petugas untuk diwawancarai. Kepada wartawan ia menyebutkan dirinya hanya menuntut keadilan hukum yang sebenar-benarnya dari aparat penegak hukum.

“Saya mogok makan karena tidak ada keadilan, pelaku yang besar bisa bebas. Apalagi saya satu-satunya di Ketapang, pemilik IPK yang resmi. Tapi aneh ada laporan ke Mabes saya bos kayu besar,” tuturnya.

Pemilik IPK Perkebunan Sawit dan Sawmill PO Tri Jaya, PO Cembagus dan PO Inti Lestari ini divonis hukuman 1 tahun 6 bulan penjara oleh Majelis Hakim PN Ketapang pada tanggal 12 Desember 2008 dalam kasus yang dipisahkan.

“Karena itu kami minta perlindungan hukum ke bapak-bapak yang berkuasa di Jakarta maupun di Pontianak,” ujarnya.

Ia menyebutkan sedikitnya ada 11 instansi yang dikirimkan surat untuk minta perlindungan antara lain Presiden, Kapolri, Menteri Kehutanan, Kejagung, MA, serta Komnas HAM yang ditanda tangani 25 orang.

“Yang saya tahu, tidak ada satu pun cukong yang masih ada di Lapas ini,” kata Aweng.

Perlakuan hukum berbeda yang sangat menyolok, terlihat dari bebasnya sekitar 12 pelaku utama illegal logging. Padahal ke-12 orang tersebut seharusnya masih mendekam di Lapas Kelas IIB Ketapang karena putusan Pengadilan Negeri Ketapang sudah jelas mereka divonis bersalah dengan hukuman paling sedikit 10 bulan dan maksimal 1,6 tahun penjara.

Apalagi ke-12 orang tersebut maupun JPU mengajukan banding atau kasasi baik ke PT Kalbar maupun MA, tetapi putusannya tidak pernah dijalankan.

 Ke-12 orang itu antara lain Issiat (pemilik kayu), Wijaya (koordinator dokumen dan dana taktis), Darwis (pemilik kayu dan sawmill PO Kayu Bertuah), Stefanus Chandra (Pemilik sawmil Maranatha), Adi Murdiani (penyewa sawmill Maranatha sekaligus koordinator dana taktis), Freddy Lee (pemilik sawmill CV Rimba Ramin), Dol Solben alias Abdul Jobar (pemilik sawmill Karya Bersama), AKBP A Sun’an (mantan Kapolres), AKP Khadaphy Marpaung (mantan Kasat Reskrim), Iptu Agus Lufiandi (mantan Kapospol), Syaiufl (mantan Kadishut Ketapang) dan Nur Fadri (Ketua tim stok opname Dishut Ktp).

Saat ini yang tersisa di Lapas Kelas IIB Ketapang hanyalah Aweng dan Tony Wong.  Bahkan pelaku yang menjadi DPO tim Mabes Polri pun tak pernah tertangkap hingga kini.

Padahal mereka berlenggang kangkung menghirup udara segar di Ketapang, bahkan masih bermain kayu dalam skala konteiner seperti Iin Soluna dan H. Marhali bos kayu Telok Batang . (rob)